“Kamu ikut Nabi atau Imam Syafi’i?” pertanyaan semacam ini sering dilontarkan oleh kelompok yang memiliki pemikiran miring kanan atau yang lebih dikenal dengan kaum Salafi, yang sangat anti dengan yang namanya “Bermadzhab”. Mereka berpandangan bahwa dalam mempelajari syariat Islam, umat Islam harus merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadis, tanpa melalui perantara apapun. Mereka selalu memberikan seruan dengan gerakan “pemurnian” ajaran agama agar dalam mempelajari agama tak perlu cenderung dan mengikuti satu mazhab tertentu. Sebab, dalam pandangan mereka, hanya al-Qur’an dan hadis saja yang merupakan sumber utama dalam ajaran Islam. sedangkan pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, kelompok ini beranggapan bahwa bermadzhab, baik dengan mengikuti Imam Syafi’i, Imam Asyari, imam Ghozali dll hanya akan mengotori “pemurnian” ajaran agama. Lantas, benarkah pandangan ini dalam ajaran Islam? Dan bagaimana sebenarnya hukum bermadzhab dalam mendalami ajaran agama Islam?
Tanggapan
Seorang yang mengaku bahwa dirinya sebagai orang muslim, ia harus tunduk dan patuh secara utuh pada Allah dan Rasul-Nya, dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi segala larangannya. semua tuntunan syariat ini telah tertuang dalam dua sumber hukum dan pilar utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Hanya saja, tuntunan syariat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Hadis banyak yang bersifat Global (ijmali), masih belum detail dan praktis, Bahkan kerap kali ditemukan antara satu nas dengan nas lain sepintas tampak bertentangan. Sehingga untuk melakukan istinbat hukum secara langsung dari nas al-Quran maupun hadis membutuhkan proses yang sangat rumit, butuh pengusaan mendalam tentang bahasa arab, juga harus menguasai beberapa disiplin ilmu untuk menggali, berikut mencetuskan satu hukum (Istinbat) dari nash al-Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, Tentu tidak sembarang Individu muslim bisa melaksanakan hal tersebut. Sebab, banyak lini dalam kehidupan ini yang tidak boleh di abaikan, seperti lini sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Andai setiap orang di wajibkan menggali dan mencetuskan hukum secara pribadi, niscaya sisitem dalam kehidupan ini tidak akan seimbang, karena akan menyebabkan terbengkalainya lini-lini lain yang juga harus terisi. Kemudian dalam proses istinbat hukum membutuhkan konsentrasi penuh waktu dan lain sebagainya, sedangkan sertiap muslim yang nukallaf memiliki kewajiban-kewajiban lain yang harus di tunaikan, sehingga tak ada pilihan lain bagi seorang yang awam melainkan bertaklid pada ulama yang mumpuni, sebagaimana surat an-Nahl, ayat 43:
“فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون”
Artinya:”tanyalah pada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak mengetahui hukum, harus ikut (taklid) kepada orang yang mengetahui hukum. Sebab, untuk menekuni dan mendalami disiplin ilmu secara menyeluruh itu tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Hanya segelintir orang saja yang mumpuni dalam hal tersebut, yang tidak lain adalah para mujtahid. Kemudian buah pemikiran para mujtahid yang telah dikelola dengan baik, sesuai ketentuan-ketentuan istinbat yang telah baku, tinggal diikuti dan diterapkan oleh masyarakat awam. Masyarakat awam tinggal menggunakan rumusan matang para Mujtahid tanpa harus repot-repot mencari sendiri sumber-sumber syariat tersebut. Inilah yang disebut taklid atau bermadzhab.
Dalam hadist riwayat Imam Darimi di jelaskan:
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَرْفُوعًا: “خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ”، قَالُوا: وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَفِينَا كِتَابُ اللَّهِ؟ قَالَ: فَغَضِبَ -لَا يُغْضِبُهُ اللَّهُ-. ثُمَّ قَالَ: “ثَكِلَتْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ، أَوَلَمْ تَكُنْ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمْ شَيْئًا؟! إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ: أَنْ يُذْهِبَ حَمَلَتَهُ”
Diriwayatkan dari Abi Umamah sebuah hadis marfu’ dari Rasulullah SAW: “Ambillah ilmu sebelum ia menghilang, para sohabat pun bertanya: “bagaimana ilmu bisa hilang wahai Rasulullah SAW, padahal al-Qu’ran ada pada kami. Abu Umamah berkata: Lalu Rasulullah marah, kemudian beliau bersabda: “Ingat dan Perhatikan baik-baik, bukankah Taurat dan Injil ada bersama Bani Israil, tapi keduanya tidak bisa menyelamatkan mereka dari kesesatan? sungguh hilangnya ilmu itu dengan hilangnya pembawanya.”
Baca Juga:Sayyidina Ali dan Imamah
Hadis ini menegaskan bahwa al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber utama dalam Islam, tidak bisa dipahami mentah-mentah oleh semua orang, butuh sosok ulama yang mumpuni untuk memahami al-Quran dan Hadis dengan lurus dan benar.
Dalam Kitab Zubdatul Itqon karya Imam Suyuti di tukil dari Imam as-Syafi’i :
“وقال الإمام الشافعي- رضي الله تعالى عنه-: جميع ما تقوله الأمة شرح للسنة، وجميع السنة شرح للقرآن.”
Artinya: “Semua yang dikatakan (ulama) umat ini adalah penjelasan dari Hadis, dan semua yang tertera dalam Sunah adalah penjelasan dari al-Qur’an”
Dari sini bisa kita pahami, bahwa para ulama, terutama para mujtahid adalah kiblat utama masyarakat awam untuk memahami apa yang disampaikan Rasulullah SAW, Baik yang tertera dalam aL-Quran maupun yang terdapat dalam Hadis.
Sayyid Ali al-Khawwas menukil pendapat Imam Sya’roni dalam kitab Mizan al-Kubro, sebagai berikut;
“يَجِبُ عَلَيْك التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَا تَصِلُ إلَى شُهُودِ عَيْنِ الشَّرِيعَةِ الْأُولَى خوفا من الوقوع في الضلال”
Artinya: “Kamu wajib ikut pada suatu Madzhab selagi belum mencapai tingkatan pengetahuan akan inti syariat, khawatir terjerumus dalam kesesatan”
Pendapat Imam Sya’rani tersebut, menegaskan bahwa seorang awam wajib bermadzhab, karena jika ia mengambil hukum dari al-qur’an dan hadis secara langsung, besar kemungkinan ia akan terjerumus kedalam lembah kesesatan. Oleh karena itu, orang awam wajib bertaklid kepada para Mujtahid, baik dalam ranah Akidah, syariat atau Tasawwuf.
Alhasil, tidak benar kelompok (salafi) yang mengatakan harus kembali kepada al-Qur’an dan hadis, serta tidak boleh bermadzhab, yang benar adalah”Saya mengikuti Nabi melalui pemahamannya Imam Syafi’i”. Wallahu A’lam Bis Shawab
Moh Sobir Koiri | annajahsidogiri.id