Dalam sempalan Khawarij, terdapat segelintir kelompok yang salah dalam memahami konsep kepemimpinan dalam syariat Islam. kelompok tersebut adalah an-Najdah, Di mana kelompok ini memahami bahwa mendirikan pemimpin bukanlah sesuatu yang wajib atas dasar syariat, akan tetapi sesuatu yang diwajibkan atas dasar kemaslahatan. Dengan artian, selagi suatu kebaikan atau keadilan bisa terlaksana tanpa adanya pemimpin, maka mendirikan pemimpin bukanlah suatu hal yang diwajibkan.[1]
Di samping itu ada kelompok yang salah paham tentang masalah pemimpin, yaitu as-Syabibiyyah. Dalam kitab-kitab firqah, salah satunya adalah al-Farqu baina al-Firoq [hlm.76], tercatat bahwa kelompok yang dipelopori oleh Syabib ini melegalkan kepemimpinan seorang perempuan dengan syarat bisa menjalankan hak-hak yang ada pada kelompok mereka serta menyalahkan para pembangkang-pembangkang kelompok mereka (as-Syabibiyyah).
Sebenarnya pembahasan kali ini adalah pembahasan fiqih, dan tidak menyentuh pada ranah akidah. Namun, dikarenakan terdapat keyakinan sesat yang tersirat pada ideologi mereka, serta seringnya pembahasan fiqih yang dikaitkan pada pembahasan akidah, maka berikut tanggapan untuk menyikapi persoalan di atas;
Pemahaman an-Najdah
Sebagaimana keterangan di atas, sekte ini menganggap bahwa mendirikan pemimpin bukanlah suatu kewajiban. Hal itu bilamana suatu perkara bisa terlaksana di antara kaum muslim tanpa adanya pemimpin.
Dari pemahaman mereka, belum kami temukan dalil yang mendasari pemahaman tersebut. Maka bisa dipastikan pemahaman mereka adalah tanpa didasari dalil, toh meskipun ada dalil, dalil tersebut adalah salah, sebab identik Khawarij yang selalu mengambil dari lahiriyyah ayat dan nash-nash yang ada.
Dalam pandangan Ahlusunnah wal Jamaah, mendirikan pemimpin adalah suatu kewajiban dengan dasar konsensus kebanyakan para Ulama. Al-Imam Abu Hamid al-Gazhali berpendapat bahwa mendirikan Qodhi (pemimpin) itu lebih utama dari pada berperang membela ajaran Allahﷻ. Alasan lainnya adalah sebab watak manusia adalah menginginkan suatu peraturan.[2] Dalil untuk wajibnya mengangkat pemimpin adalah potongan ayat QS. al-Maidah:49;
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ
“Hendaklah engkau memutuskan (urusan) di antara mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.”(QS.Al-Mā’idah [5]:49)
Dan QS.al-Maidah:42
وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”(QS.Al-Mā’idah [5]:42)
Perspektif as-Syabibiyyah
Juga sebagaimana yang di atas, kelompok ini melegalkan kepemimpinan seorang perempuan dengan syarat tadi, yaitu mampu melaksanakan hak-hak kelompoknya dengan baik serta menyalahkan oknum-oknum yang menyalahi dan berbeda dengan pemahaman mereka.
Padahal, dalam pandangan Ahlusunnah wal Jamaah, mendirikan suatu pemimpin adalah suatu hal yang membutuhkan beberapa kriteria ketat dan tidak semudah apa yang telah dipahami kelompok ini.
Jika kita lihat dalam beberapa kitab fiqih, salah satunya al-Bujairamai ala al-Khatîb [hlm.380\4], akan kita temukan beberapa ketentuan-ketentuan yang panjang lebar, seperti mengetahui hukum-hukum kitab dan sunnah, ijmak dan khilaf, mengetahui cara menganalisa hukum, tafsir al-Quran, bahasa arab, dan lain sebagainya.
Maka dapat kita ketahui betapa ketat dan sulitnya menjadi pemimpin. Nah, untuk seorang pemimpin perempuan sendiri, sebagian ulama ada yang memperbolehkan, seperti Izzuddin bin Abdissalaam, dan itupun dalam ranah darurat.
Adapun keyakinan menyimpang yang kami sebutkan di atas adalah kelompok ini (as-Syabibiyyah) di samping melegalkan kepemimpinan wanita, mereka mengkafirkan sayyidah Aisyah yang kala itu keluar dan memimpin pasukan muslimin dalam barisan perang waq’atul-jamal. Sebab, di kala itu sayyidah Aisyah sedang keluar tanpa dibarengi mahram.
Dan tidak hanya itu, mereka juga membacakan ayat وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ kepada sayyidah Aisyah, di mana ayat tersebut memang memerintah istri Nabi ﷺ untuk berdiam diri di dalam rumah secara khusus, dan seorang perempuan secara umum.
Untuk masalah ini, syekh Abdul Qohir al-Baghdadi memberi tanggapan bahwa keyakinan mereka jelas-jelas salah. Seharusnya mereka juga mebacakan ayat tersebut kepada Gazhalah (pemimpin wanita mereka). Kemudian, perihal sayyidah Aisyah yang sedang keluar untuk memimpin pasukan muslim, sebenarnya beliau sedang bersama mahramnya yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar, dan setiap pasukan muslim adalah anak beliau, yang mana status beliau adalah Ummul-Mukminin.[3] Wassalaam.
Moch Rizky Febriansyah|annajahsidogiri.id
[1]Abu Zahra, Târîkhul Madzâhib al-Islâmiyyah, hlm.73
[2]Al-Khatib al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi, vol.4 hlm.379
[3] Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, hlm.77,78