Khilafah dalam pandangan Islam termasuk ajaran agama yang harus terealisasikan. Mengangkat seorang pemimpin adalah hal yang sangat penting bagi setiap golongan. Meskipun pemimpin tersebut orang yang zalim atau fasik. Karena sebuah wilayah lebih baik berpemimpin orang zalim selama 60 tahun dari pada sama sekali tanpa pemimpin.
Hizbut-Tahrir termasuk organisasi yang berapi-api untuk menegakkan khilafah dalam sebuah negara setelah kekhilafaan Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924 M oleh Kemal Ataturk. Tujuannya tidak lain untuk menyatukan umat Islam dalam satu wadah yang bernama khilafah. Hanya saja cara Hizbut-Tahrir menyeleweng dari koridor yang sudah ada. Sedangkan menegakkan khilafah pada zaman sekarang sulit untuk terlaksana. Karena umat Islam sudah menyebar ke seluruh dunia yang tidak mungkin merangkulnya dalam satu negara.
Menurut pandangan Hizbut-Tahrir sebuah negara Islam jika tidak menggunakan sistem pemerintahan berdasarkan hukum syariat Islam sebagaimana pada masa khulafaur-rasidin. Maka negara tersebut tidak sah, seperti melakukan kisas, melaksanakan jihad dan sebagainya. Faktanya mayoritas negara Islam dunia hampir tidak ada yang menerapkan sistem syariat Islam.
Baca Juga: Perbedaan Hizbut-Tahrir dengan Kita
Dalam kitab al-Syakhsyiyah al-Islamiyah juz 2 hal 19 Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan: “orang-orang Islam yang tidak berusaha mengangkat seorang khalifah termasuk melakukan dosa yang paling besar.”Karena hal tersebut mengabaikan melaksanakan kewajiban Islam yang paling penting, padahal wujud Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada khalifah.”
Pernyataan tersebut menyimpulkan bahwa setiap orang Islam yang tidak berusaha untuk mengangkat khalifah. Berarti melakukan dosa besar dan khalifah menjadi pedoman adanya agama Islam. Demikian ini, bertentangan dengan al-Quran. Taklif mengangkat khalifah bagi umat Islam apabila mampu. Jika tidak mampu maka tidak harus memaksakan diri.
Pernyataan ini juga bertentangan dengan hadis Nabi Muhammad yang artinya: apa yang aku larang pada kalian maka jauhilah. Sedangkan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah selama kalian mampu (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjadi dasar bahwa kewajiban melaksanakan perintah agama itu berkaitan dengan kemampuan kita untuk melaksanakan. Ketika kemampuan untuk melaksanakan tidak terpenuhi. Maka gugur dengan sendirinya.
Hujjatul-Islam Abu Zakaria al-Anshari dalam Ghayatul-Wusul mendefinisikan wajib dengan suatu tuntutan syarak agar orang mukalaf melakukan secara pasti. Jika meninggalkan akan mendapatkan siksa. Apabila mengerjakan akan mendapat pahala. Dalam kitab Ahkamus-Sulthaniyah lil-Mawardi hal 5 Imam Mawardi menjelaskan: jika imamah wajib terlaksana. Maka imamah hukumnya fardu kifayah sebagaimana jihad dan mencari ilmu.
Baca Juga: Tidak Ada Jejak Khilafah di Nusantara
Ibnu Hazm dalam al-Fashlu juz 4 halaman 72 mengatakan semua golongan mulai dari Ahlusunnah, Syiah, sampai Khawarij sepakat bahwa mengangkat pemimpin berhukum wajib dan umat wajib mengangkat imam yang adil untuk menegakkan hukum Allah yang turun kepada rasul.
Hanya saja mengangkat pemimpin tidak harus tunggal dalam satu kondisi bahkan boleh lebih. Sebagaimana keterangan dalam kitab Ghiyatsul-Umam halaman 128: Imam Asy’ari dan Imam Juwaini berpendapat boleh mengangkat beberapa pemimpin jika dalam keadaan darurat. Sebagaimana terdapat dua negara yang terhalang oleh laut untuk mencapai satu sama lain. Maka boleh bagi penduduk setiap iklim dari beberapa iklim mempunyai masing-masing pemimpin.
Pada zaman sekarang sulit sekali menegakkan khilafah yakni pemerintahan tunggal pemimpin. Karena tersebarnya agama Islam di seluruh dunia yang tidak mungkin bersandar dalam satu pemerintahan. Jika demikian, maka boleh mengangkat beberapa pemimpin sesuai masing-masing wilayah sebab darurat. pemimpin seperti ini disebut khilafah an-naqishah.
M Nuril Ashabi Lutfi|Annajahsidogiri.id