Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku dan budaya. Mulai dari suku Jawa, Sunda, hingga Madura. Selain itu, negara kita tercinta ini, juga memiliki berbagai macam agama, dan Islamlah yang paling banyak diikuti oleh mayoritas penduduk nusantara. Sebagai kaum muslimin, kita diwajibkan menjadikan al-Qur`an dan hadis sebagai pedoman hidup sepanjang tubuh masih bernyawa, agar tidak salah dalam mengambil tindakan di setiap pekerjaan. Rasulullah ﷺ mengancam orang yang melakukan suatu ibadah dan kegiatan tanpa ada dasar dari kedua petunjuk kebenaran yang telah disebutkan.
Sebagian ulama Wahabi pernah menyatakan, perayaan maulid nabi dikalangan masyarakat termasuk pekerjaan yang mendapatkan ancaman dari Rasulullah ﷺ, dengan beralasan tidak adanya landasan dari Al-Quran dan hadis, serta Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan ritual tersebut. Sekilas, pemaparan tersebut fine-fine saja, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, dalam hal ini, perlu kita ketahui beberapa ketentuan oleh berbagai kalangan:
Pandangan Ahlusunah Perihal Maulid Nabi
Pertama, ketika wahabi memvonis kegiatan maulid tidak berdalil, sebenarnya ini bermula dari ketidaktahuan mereka akan dalil yang mendasari. Sehingga, mengatakan kegiatan tersebut tidak ada dalilnya, padahal mereka hanya tidak tahu, dan sesuatu yang tidak diketahui, bukan berarti tidak ada. Contohnya seperti orang pedalaman yang hanya berpakaian rantaian daun dan kulit binatang, ketika ditanya tentang kemajuan busana di sekitar perkotaan, mereka tidak akan tahu dan menyangsikan akan kemajuan yang dipertanyakan, karena mereka melihat pada pakaian yang mereka kenakan, tidak tahu kalau di tempat lain, busana telah berkembang.
Kedua, sumber kegiatan maulid Nabi sangatlah banyak, berasal dari Al-Quran dan hadis Rasulullah ﷺ. Diantaranya adalah surah al-Anbiya` ayat 107:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”(QSAl-Anbiyā’ [21]:107)
Selain itu, beliau juga merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ﷻ kepada seluruh alam, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
“Sesungguhnya aku hanyalah rahmat yang diberikan.”[1]
Kemudian, berlanjut kepada surah yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Yūnus [10]:58).
Dari ayat di atas, sahabat Ibnu Abbas memberikan penafsiran pada sebagian lafaz. Lebih tepatnya pada lafaz “Fadlu“, beliau menafsiri dengan ilmu, sedangkan lafaz “Rahmat“, beliau memberikan penafsiran dengan Rasulullah ﷺ (kelahirannya). Kesimpulannya, kita diperintahkan untuk berbahagia dengan turunnya rahmat dari Allah ﷻ yang berupa lahirnya Rasulullah ﷺ, sehingga, korelasi tafsiran sahabat Ibnu Abbas dengan ayat al-Anbiya` sangatlah jelas, tanpa ada kesamaran sedikit pun bagi orang yang berakal.
Ketiga, dalil berikutnya, berasal dari surah al-Hud ayat 120 yang berbunyi:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.” (QS.Hūd [11]:120).
Baca Juga : Tahlilan Rajin, Tapi Malas Shalat
Jika kisah nabi terdahulu menjadi peneguh hati bagi Rasulullah ﷺ, tentunya, kita yang lemah lebih membutuhkan akan peneguh hati. Faktanya, ketika kita membaca maulid Nabi, kita membaca bersama tentang biografi, jejak langkah, dan mukjizat Rasulullah ﷺ, hal ini merupakan cara yang sama dengan ketentuan dari ayat di atas, di dalam meneguhkan hati.
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang belum kita bahas bersama, sekalipun hanya beberapa, setidaknya sudah bisa untuk mengatasi pernyataan para wahabiyin yang sesat bin ngelantur. Wallahu a`lam.
Cahya Nurul Laka | AnnajahSidogiri.id
[1] Hadis sahih menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafiz az-Zahabi.