Jahiliyah yang dimaksud dalam al-Quran bukan berarti kebalikan dari apa yang disebut ilmu pengetahuan, peradaban, kemajuan materi dan lain sebagainya. Melainkan kebodohan tentang ajaran Tuhan dan mengikuti hawa nafsunya.1 Hal ini bisa kita dibuktikan dari beberapa bidang:
Ilmu dan Kesusastraan
Kita sulit menemukan bahasa yang mampu mempengaruhi pikiran para pengguna sedemikian kuat, selain bahasa Arab. Orang-orang Arab dapat bangkit perasaannya dengan bacaan puisi-puisi, dan senandung ritme bait-bait syair. Hal demikian yang memberikan dampak spikologis terhadap mereka, layaknya hembusan “sihir yang halal”(sihr halâl).
Orang-orang Yunani menuangkan daya seninya dengan bentuk patung dan arsitektur, sedangkan orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk syair (qashîdah). Sungguh bahasa Arab itu memiliki ungkapan kalimat yang padat, efektif, dan singkat. Sehingga keilmuan yang menonjol di pra-Islam adalah membuat syair-syair Arab. Islam memanfaatkan secara maksimal karakteristik bahasa ini dan watak spisikologis panutannya. Dari sinilah muncul “kemukjizatan” (i‘jâz) gaya dan susunan kalimat al-Quran, yang menjadi argumen utama bagi umat Islam untuk membuktikan kemurnian agamanya. Kemenangan Islam hingga batas tertentu merupakan kemenangan bahasa, lebih khususnya kemenangan sebuah kitab yang berbahasa Arab.2
Agama dan Kepercayaan
Kehidupan keturunan Nabi Ismail tadinya selaras dengan ajaran yang dibawa Nabi Ibrahim. Namun, sepeninggal Nabi Ismail, ketika Jurhun berkuasa atas Hijaz, merebaklah berbagai macam kemaksiatan dan kerusakan moral. Keadaan itu diperparah ketika Bani Khuza’ah berkuasa. Mereka mengubah ajaran Monotheisme menjadi Pagan, walaupun masih terdapat sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim, seperti thawaf, haji, umrah, wuquf di Arafah dan kurban. Hanya saja semua itu mereka lakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim.3
Penyembahan berhala berawal saat Bani Khuza’ah berkuasa atas Hijaz. Pemimpin mereka yang bernama Amr bin Luhay adalah orang yang pertama kali memprakarsai penyembahan berhala. Hal itu ia adopsi dari tradisi kabilah Amaliq di Syam saat ia berkunjung ke Syam. Sepulang dari Syam, ia membawa berhala yang bernama “Hubal” ke Makkah dan menyeru penduduk Makkah untuk menyembahnya. karena ia seorang penguasa yang disegani tak ada seorang pun yang berani membantah, perintah itu pun diikuti banyak orang. Seiring dengan berjalannya waktu, penyembahan berhala atau paganisme menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan bangsa Arab.4
Baca juga: Kondisi Jazirah Arab Masa Pra-Islam (1)
Bidang Sosial
Kuatnya ikatan kekerabatan dan kesukuan di kalangan masyarakat Arab memunculkan fanatisme kesukuan yang tinggi. Bila salah seorang anggota suku terlibat perseteruan dengan suku (clan) lain, maka akan menimbulkan permusuhan, bahkan peperangan. Hal inilah yang menjadi faktor utama terjadinya peperangan-peperangan pada masa Jahiliyah. Seperti perang Ba’sus yang melibatkan Bani Bakar dan Bani Tahglib dan perang Dahis dan Ghabran yang terjadi antara suku Abs Dzubyan.5
Dalam hal pernikahan, Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah bahwa pernikahan masa Jahiliyah ada empat model:
- Pernikahan spontan. Yaitu seorang lelaki mengajukan lamaran pada wali si wanita dan menikahinya langsung setelah menyerahkan maskawin seketika itu.
- Nikah istibdha’. Yaitu, seorang suami menyuruh istrinya untuk tidur dengan orang lain. Setelah itu suami tidak akan mengumpuli istrinya sampai ada kejelasan bahwa si isrti telah hamil dari hasil hubungannya dengan orang lain. Hal itu bertujuan untuk memperoleh keturunan cerdas dan baik. Biasanya orang yang dipilih suami untuk menggauli istrinya adalah orang yang disegani karena ilmu, keberanian dan kecerdasan.
- Yaitu beberapa lelaki kurang dari sepuluh orang menikahi (menggauli) satu wanita. Setelah melahirkan, wanita tadi memilih satu dari laki-laki tersebut sebagai ayah dari anaknya.6
Di samping itu, mereka juga populer dalam pembunuhan anak. Esensinya, perbuatan ini bukanlah sebuah tradisi di kalangan masyarakat Arab. Sebab, bagaimana pun mereka masih membutuhkan kehadiran anak dalam kehidupan. Akan tetapi, perbuatan tersebut dilakukan oleh golongan tertentu dengan motif yang berbeda-beda, sebagaimana berikut:
- Takut aib dan kemunafikan. Ini biasa dilakukan Bani Tamim, Kindah dan beberapa kabilah lain;
- Lahir dalam keadaan cacat. Hal ini biasa dilakukan sebagian kecil kabilah Arab;
- Takut miskin dan lapar;
- Karena nazar (janji/sumpah) seperti yang hampir dilakukan oleh Abdul Muththalib.7
Selain hal yang di atas, masih banyak lagi praktik-praktik perbuatan tercela yang merebak di tengah masyarakat Arab Jahiliyah, seperti meneguk minuman keras, perjudian, poligami tanpa batas, jual-beli wanita, menikahi ibu tiri yang ditinggal mati atau dicerai, menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus, dll.
Etika dan Moral
Tidak bisa dipungkiri bahwa di tengah kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah banyak hal-hal hina dan amoral. Tapi meskipun begitu, masih ada perangai-perangai terpuji yang terpupuk dengan subur dalam kehidupan mereka. Sifat-sifat tersebut menjadi kebanggaan dan harga diri seseorang, baik dalam sukunya sendiri atau suku lain, seperti:
- Ini adalah sifat yang selalu mereka pegang teguh dan berlomba-lomba untuk menjadi orang yang paling disegani karena kedermawanannya. Pada masa Jahiliyah, ada sebuah nama yang sangat terkenal karena kedermawanannya, yaitu Hatim ath-Tha’i. Karena kedermawanannya, namanya menjadi lambang kedermawanan dalam syair-syair Arab, bahkan sampai masa pasca Islam.
- Memenuhi janji. Di mata mereka, janji tak ubahnya hutang yang harus dibayar, bahkan mereka lebih suka membunuh anaknya atau membakar rumahnya dari pada mengingkari janji. Kisah tentang Hani’ ibnu Mas’ud dan Hajib ibnu Zararah sudah cukup membuktikan hal ini.8
- Kemuliaan jiwa dan pantang dihina. Mereka tidak suka mendengar penghinaan orang lain pada dirinya atau kelompoknya. Jika hal itu terjadi, maka tak segan-segan mereka menghunus pedang.
- Pantang mundur. Semangat orang Arab dalam berpegang teguh pada pendirian atau prinsip, atau sesuatu yang diyakininya, membuat mereka menjadi bangsa yang tak kenal kata menyerah pada apa pun dan siapa pun. Demi kemuliaan diri, mereka akan berjuang hingga tetes keringat terakhir dan titik darah penghabisan.
- Lemah lembut dan suka menolong. Hanya saja, sifat ini kurang tampak karena mereka berlebih-lebihan dalam hal keberanian dan mudah terseret pada peperangan.9
Referensi:
- Dr. Ibrahim Ali Saud, Abâthil Yajibu An Tumha minat-Târikh, 31, al-Maktabatul-Islami, Bairut, Lebanon.
- Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal.112, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, Cet.I, 1425.
- Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, hal. 18, Litera Antarnusa, Bogor, Jakarta.
- Al-Mubarakfury, Rahiqul-Makhtum, hal .35 Darul Fikr, Bairut, Libanon.
- Ahmad Hatta dkk., The Great Story of Muhammad, hal. 34-37, Maghfirah Pustaka, Jakarta Timur, Cet.II, 2012.
- Syeik Shafiyurrahman, Sirah Nabawiyah, hal.63, Pustaka al-Kautsar, Cet.I, Jakarta, 1997.
- Bulughul Arab, Darul Kutub, hal. 45.
- Jakfar Subhani, ar-Risalah, hal. 11, Lentera, Cet. II, Jakarta, 1996.
- K.H. Moenawwar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, I/24, P.T. Bulan Bintang, Jakarta
Chairul Hayyan/Annajah.co