Secara etimologi, tabaruk diambil dari lafaz “barakah”. Secara terminologis adalah sebuah kebaikan Ilahi yang ada dalam sesuatu. Konsep tabaruk sendiri adalah bertambahnya kebaikan. Dalam kitab Tahdzibul-Lughah dijelaskan bahwa maksud dari tabaruk adalah mencari tambahan kebaikan dari mutabarrak bih (yang ditabaruki).
Ulama Ahlusunah sepakat bahwa tabaruk adalah amalan yang disyariatkan oleh Nabi. Berbeda dengan sekte Wahabi yang menganggap tabaruk adalah pekerjaan bid’ah dan para pelakunya adalah syirik. Seorang ulama Wahabi bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani dengan gigih menolak, mengharamkan dan menuduh syirik praktik tabaruk, dia menyatakan;
“Kondisi kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia, mereka menginginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu, melalui perminta berkah (tambahan) terhadap berhala-berhala yang mereka sembah, dengan mengharap tambahan kebaikan yang berlebih. Mereka, meyakini bahwa patung-patung itu adalah para pemberi berkah. Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun masih meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan yang mereka inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai sarana. Hal ini sesuai dengan ayat,‘…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya..’(QS Az-Zumar[39]:3). Dari sini jelas sekali, bahwa tabaruk (mengharap berkah) selain dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman Jahiliyah.”
Jelas, pemahaman Surah Az-Zumar [39]:3 yang dijadikan dalil keharaman tabaruk di atas terlepas dari konteksnya. Dalam ayat itu disebutkan, “kami tidak menyembah mereka melainkan….”. Di situ terdapat kata ‘menyembah’yang meniscayakan bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini ‘sifat ketuhanan’ obyek (patung-patung) yang dimintai berkah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Esensi dari penyembahan sendiri adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembah. Sehingga mustahil mereka (kaum musyrik jahiliyah) menyebut kata ‘sembah’ jika tidak meyakini sifat ketuhanan patung tersebut.
Baca Juga: Hukum Bertabarruk (Ngalap Berkah)
Adapun ‘tabaruk’ bukanlah menyembah objek yang dimintai berkah. Hal ini dapat kita pahami dari perintah Allah pada para Malaikat dan Iblis untuk kepada Nabi Adam. Tidak mungkin Allah memerintah Malaikat untuk menyembah Nabi Adam. Juga dalam cerita Sayyidina Umar ketika mencium hajar aswad, beliau tegas mengatakan bahwa ‘batu itu tidak dapat memberi mudharat atau manfaat’.
Inilah yang membedakan antara perilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin dalam pengambilan berkah. Umat muslim bertabaruk dengan sesuatu bukan karena yang ditabaruki dapat mendatangkan maslahat atau yang lainnya, melainkan karena Allah telah menurunkan berkah pada sesuatu itu sehingga berharap akan terkena percikan berkah Allah yang diturunkan tersebut.
Keyakinan merupakan sesuatu yang sangat bersifat esensial dalam perilaku peribadatan. Semua orang tahu, Islam menilai setiap perilaku umatnya berdasarkan niatnya. Dengan kata lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali kepada niat. Rasulullah pernah menyatakan, “Setiap perbuatan kembali kepada niatnya…” (HR.Bukhari dan Muslim). Jika demikian, tentu, niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan! Karena sebodoh-bodohnya orang muslim tidak akan berkeyakinan jika yang ditabaruki dapat mendatangkan maslahat. Karena pada hakikatnya Allah-lah yang menghendaki adanya barakah dalam sesuatu yang ditabaruki.
Mengenai tabaruk, Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki mengatakan bahwa tabaruk adalah salah satu macam dari tawasul, yang mana tawasul sangat jelas pernah dilakukan oleh para Ulama, Shahabat, bahkan Nabi. Beliau mengatakan:
وقبل أن نبيّن الأدلة والشواهد الناطقة بجواز ذلك بل بمشروعيته، ينبغي أن نعلم أن التبرك ليس هو إلا توسلا إلى الله سبحانه وتعالى بذلك المتبرَّك به سواء أكان أثرا أو مكانا أو شخصا
“Sebelum menjelaskan dalil dan bukti yang berbicara yang membolehkan bahkan mensyariatkan praktik ini, seyogianya kita menyadari bahwa tabarruk atau ngalap berkah itu tidak lain adalah salah satu bentuk tawasul atau wasilah kepada Allah melalui sesuatu pengantar keberkahan baik itu jejak atau bekas, tempat, maupun manusia secara pribadi,”
Beliau juga menerangkan bahwa tabaruk memiliki beberapa variasi. Pertama adalah tabaruk pada dzat (A’yan). Kedua, tabaruk pada peninggalan Nabi atau orang-orang shaleh (Atsar). Ketiga, tabaruk pada tempat (Makan).
Terkait prakteknya, Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki mengatakan bahwa jejak dan tempat bisa terangkat derajatnya karena Allah memuliakannya. Secara rinci Sayyid Muhammad bin Alwi menyebutkan bahwa jejak dan tempat tertentu itu menjadi berkah karena dipakai untuk peribadatan dan kebaikan sebagaimana dikutip berikut ini:
أما الأعيان؛ فلاعتقاد فضلها وقربها من الله سبحانه وتعالى مع اعتقاد عجزها عن جلب خير أو دفع شر إلا بإذن الله. وأما الآثار فلأنها منسوبة إلى تلك الأعيان، فهي مشرّفة بشرفها، ومكرّمة ومعظّمة ومحبوبة لأجلها. وأما الأمكنة؛ فلا فضل لها لذاتها من حيث هي أمكنة وإنما لما يحل فيها ويقع من خير وبر؛ كالصلاة والصيام وجميع أنواع العبادات مما يقوم به عباد الله الصالحون؛ إذ تتنزل فيها الرحمات وتحضرها الملائكة وتغشاها السكينة وهذه هي البركة التي تطلب من الله في الأماكن المقصودة لذلك
“Adapun benda atau orang (a’yan), (kita) meyakini keutamaan dari Allah dan kedekatannya dengan Allah sambil meyakini bahwa benda atau orang tersebut tidak sanggup mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat kecuali dengan izin Allah. Sedangkan jejak atau bekas (atsar), harus dipahami bahwa bekas itu dinisbatkan kepada bendanya. Jejak atau bekas itu menjadi mulia karena kemuliaan bendanya; serta terhormat, agung, dicintai karena kehormatan bendanya.
Sementrara tempat (makan), tidak ada keutamaan apapun jika ditinjau dari segi tempat itu sendiri. Tetapi ketika suatu ruang digunakan untuk kebaikan dan peribadatan seperti salat, puasa, dan semua jenis ibadah yang pernah dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang saleh, maka rahmat Allah akan turun, malaikat ikut hadir, dan ketenteraman batin menyelimuti. Inilah keberkahan dari Allah yang diharapkan di tempat-tempat tersebut,”
Kesimpulannya, bertabaruk dengan orang saleh dan hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang saleh, seperti dengan bekas pakaiannya, sisa air minumnya, dan lain semacamnya adalah diperkenankan. Demikian itu senada dengan kejadian yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Saat itu, para Shahabat berebut untuk memperoleh sesuatu yang masih berhubungan dengan Nabi, mulai dari air ludah, potongan rambut, keringat, sampai darahnya pun mereka rebut dan mereka minum. Begitu pula, kita juga diperkenankan bertabaruk dengan tempat yang telah diberkahi oleh Allah, seperti tempat yang biasa digunakan beribadah dan hal-hal baik lainnya. Wallahu A’lam.
Penulis: Moh. Kanzul Hikam |aktivis ACS semester II