Selama ini, posisi Ahlusunah wal Jamaah yang berada di sentral moderasi mengalami berbagai tuduhan, lebih-lebih orang-orang sunni yang seringkali dituduh radikal dan di lain waktu dituduh sebagai orang liberal.
Moderasi merupakan suatu hal yang urgen mengingat agar seseorang tidak berada di salah satu pihak yang salah. Dalam ajarannya, Ahlussunnah wal Jamaah selalu berada di antara dua sekte. Sebagai contoh, ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan kita agar menjadi ummatan wasathan, merujuk kepada QS. Al-Baqarah: 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Kalau kita sedikit membahas kata Wasathan pada ayat di atas, kita akan memahami arti kata yang secara tekstualis tersebut berarti tengah atau sentral. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa arti kata ‘Wasathan’ atau menurut beliau al-I’tidâl ialah kelompok yang berada diantara Tafrîth (terlalu berlebihan dalam beragama) dan Ifrâth (terlalu lemah dalam beragama). Lebih lengkapnya, suatu hal yang melebihi batas al-I’tidâl (ما زاد على الإعتدال) disebut Tafrîth. Sedangkan yang minim dari batas al-I’tidâl (وما نقص على الإعتدال) disebut Ifrâth. Pendapat demikian juga senada dengan Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Tafsîr ar-Râzi (II/389-390).
Kedua sekte yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali di atas memiliki kemiripan dengan Radikalisme dan Liberalisme. Yang satu terlalu berlebihan dalam beragama sehingga terbakar oleh ekstrimisme dan tindakan teror yang lain, sementara yang satu terlalu wellcome beragama hingga lunak terhadap kemungkaran yang tepat di hadapannya. Sebagai manhaj yang menjadi mayoritas dalam ideologi Islam, Ahlussunnah wal Jamaah tidak berada pada keduanya. Sehingga, ulama Ahlussunnah wal Jamaah termasuk Imam al-Ghazali telah memberi garis pembatas agar umat Islam tidak keliru mengambil dua jurusan yang berbeda tersebut.
Keliru Memahami Moderat
Tuduhan radikal dan liberal terus berlanjut di negara Indonesia tercinta ini. Apalagi, kebanyakan orang belum begitu paham tentang letak moderat yang benar diantara dua kelompok yang berseberangan. Simalakama orang Ahlussunnah wal Jamaah diperparah dengan metode dakwah yang diambil oleh para penceramah dan dai Ahlussunnah wal Jamaah dalam berdakwah. Ada yang suka bentak-bentak ketika berceramah malah dianggap radikal. Sebaliknya, jika terlalu kalem, terutama terhadap umat agama lain dianggap liberal.
Sementara itu, kita malah dibuat geram oleh beberapa tindakan keliru yang dianggap merupakan tindakan moderat dan tepat untuk dilakukan oleh semua umat Islam, seperti menghalalkan hal haram dalam syariat yang sudah bersifat qath’iy.
Menanggapi hal itu, cukup kita mendengar kaidah fikih berikut:
من أحل الحرام فقد كفر ومن حرّم الحلال فقد كفر
Barangsiapa yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara halal maka ia telah kufur.
Selain itu, ada juga yang dengan bangga mencampur ritual keagamaan Islam dengan ritual agama lain. Atau, bertoleransi dengan yang tidak seagama dengan kita ketika pelaksanaan ibadah mereka.
Mereka yang berpendapat demikian belum begitu tahu tafsir QS. Al-Kafirun: 6
لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Ayat di atas juga diperkuat oleh Sayidina Umar RA yang pernah berkata demikian: Janganlah kalian masuk bersama orang musyrik pada saat peribadatan mereka, karena pada saat itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun. (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubra)
Kembali pada Penafsiran Masing-masing
Sebenarnya, kita sebagai umat Islam berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah tidak perlu pusing dengan apapun tuduhan kepada kita, asal kita berpegangan kepada al-Quran dan apa yang kita pegang itu benar, maka itu sudah cukup. Karena tuduhan-tuduhan tidak berdasar mereka hanyalah berangkat dari selera dan kemauan pribadi, jika tidak sesuai dengan selera dan kemauan mereka, meski benar maka mereka akan tetap menganggap kita salah.
Al-Imam Syafii rahimahullah, pernah menasihati salah satu muridnya, Rabi bin Sulaiman. Dalam kitab Hilyatul-Auliya beliau berkata:
رضا الناس غاية لاتدرك فعليك بما يصلحك فإنه لاسبيل إلى رضاهم
“Kemauan manusia tidak berujung. Maka tetaplah pada hal yang baik bagimu. Sesungguhnya, tiada yang bisa dilakukan untuk memenuhi kemauan mereka.” Wallahu a’lam.
Abrari Ahmadi | AnnajahSidogiri.id