Prolog
Narasi yang menyebut Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī (450–505 H/1058–1111 M) sebagai penyebab kemunduran filsafat dan sains dalam Islam telah hidup berabad-abad, seakan menjadi kebenaran yang tidak bisa digugat. Sejak era orientalis seperti Ernest Renan pada abad ke-19, al-Ghazali digambarkan sebagai figur yang menutup pintu rasionalitas, menolak filsafat, dan menggiring dunia Islam pada masa stagnasi intelektual. Renan, dalam kuliahnya di Sorbonne tahun 1883, menyatakan bahwa Islam tidak ramah terhadap filsafat, dengan al-Ghazali sebagai simbol konservatisme itu. Narasi ini kemudian diwariskan dalam historiografi modern yang kerap membawa bias kolonial: dunia Islam dijelaskan dengan kacamata Barat, dan kemundurannya dipahami sebagai akibat penolakan terhadap rasionalitas.
Namun, pembacaan yang cermat atas karya-karya al-Ghazali justru membalik asumsi tersebut. Ia bukan “penghancur filsafat,” melainkan seorang kritikus yang cerdas dan seorang inovator yang mengintegrasikan filsafat dengan teologi. Sebelum menulis kritiknya dalam Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali menyusun Maqāṣid al-Falāsifah, sebuah ringkasan netral pemikiran filosofis, yang ditulis tanpa celaan. Frank Griffel menegaskan: “Al-Ghazali never abandoned philosophy; he used its methods to reconstruct theology” (Al-Ghazali’s Philosophical Theology, 2009, h. 62). Dengan kata lain, al-Ghazali justru melestarikan metode filosofis, tetapi mengoreksi kesimpulan metafisis para filosof yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Dalam Tahāfut, ia tidak menolak seluruh isi filsafat, melainkan hanya 20 masalah tertentu, dengan tiga di antaranya—yakni keyakinan akan kekekalan alam, pandangan bahwa Tuhan tidak mengetahui partikular, dan penolakan kebangkitan jasmani—yang dikategorikan sebagai kekufuran. Bahkan dalam teksnya ia menulis:
«ولست أنكر ما يوجبه البرهان القاطع في علم الهيئة والحساب»
Artinya: “Aku tidak mengingkari apa yang dibuktikan oleh dalil pasti dalam ilmu astronomi dan matematika.” Dengan pernyataan ini, jelas bahwa al-Ghazali tidak menolak sains empiris, tetapi hanya meluruskan aspek metafisis yang dianggap melenceng dari Islam (Tahāfut, h. 109).
Baca Juga: Allah itu Jabatan, Bukan Nama Tuhan
Lebih jauh, al-Ghazali justru berjasa besar dalam memasukkan logika Aristotelian ke dalam kurikulum teologi dan fikih. Dalam al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād, ia menulis:
«العقل أصل الشرع، والشرع لا يستغني عن العقل»
“Akal adalah fondasi syariat, dan syariat tidak dapat dipahami tanpa akal.”
Kutipan ini memperlihatkan bahwa al-Ghazali menganggap akal sebagai mitra wahyu, bukan lawannya. Maka, gambaran bahwa ia anti-rasional sejatinya tidak berdasar (h. 11).
Narasi tentang al-Ghazali sebagai “penghancur sains” juga terbantahkan oleh fakta sejarah. George Saliba dalam Islamic Science and the Making of the European Renaissance (2007) menunjukkan bahwa perkembangan sains Islam tetap berlangsung setelah abad ke-12, bahkan menginspirasi lahirnya Renaisans Eropa. Dengan demikian, menyalahkan al-Ghazali adalah simplifikasi yang lahir dari paradigma kolonial yang mencari kambing hitam atas kemunduran Islam.
Prolog ini menegaskan bahwa membaca al-Ghazali perlu dilakukan dengan pendekatan baru, yakni membebaskannya dari narasi orientalis dan kolonial. Alih-alih menempatkannya sebagai simbol kemunduran, kita justru perlu melihatnya sebagai sosok yang mengintegrasikan teologi, filsafat, dan tasawuf dalam satu kerangka epistemologis yang kokoh. Warisannya bukanlah stagnasi, melainkan sebuah jalan tengah yang memungkinkan Islam tetap rasional tanpa kehilangan spiritualitasnya.
Baca Juga: Al-Imam Al-Ghazali
Kritik Sejajar, Bukan Penolakan Total
Salah satu kesalahpahaman paling besar dalam membaca al-Ghazali adalah anggapan bahwa ia menolak filsafat secara total. Pandangan ini, yang dilanggengkan oleh orientalis awal dan sebagian akademisi modern, justru terbalik jika kita menelusuri karya-karyanya. Al-Ghazali memang menulis Tahāfut al-Falāsifah untuk mengkritik Ibn Sina, al-Farabi, dan tradisi peripatetik, tetapi kritik itu bersifat selektif, bukan penolakan menyeluruh. Ia hanya menolak aspek metafisis tertentu yang dianggap merusak prinsip akidah, sembari tetap mengakui validitas cabang filsafat lain seperti logika, matematika, astronomi, dan etika.
Sebelum Tahāfut, al-Ghazali menulis Maqāṣid al-Falāsifah, sebuah ringkasan obyektif pemikiran para filosof. Di dalamnya, ia menyajikan epistemologi, metafisika, dan kosmologi filsafat Yunani tanpa celaan sedikit pun. Karya ini bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 sebagai Logica et Philosophia Algazelis, dan digunakan di universitas-universitas Eropa. Fakta ini saja menunjukkan bahwa al-Ghazali tidak bermaksud membakar jembatan dengan filsafat; ia justru ingin memastikan murid-muridnya memahami peta filosofis secara utuh sebelum melakukan kritik.
Dalam Tahāfut, ia membatasi kritik pada 20 masalah. Dari dua puluh itu, hanya tiga yang ia anggap kufur: kekekalan alam, ketidakpengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan penolakan kebangkitan jasmani. Sisanya ia anggap bid‘ah atau kesalahan logis. Bahkan, ia menulis:
«إنا لا ننكر المعقولات ولا ما يوجبه البرهان من الحساب والهندسة»
“Kami tidak menolak hal-hal rasional atau apa yang dibuktikan secara pasti dalam aritmetika dan geometri.” Kalimat ini menegaskan bahwa al-Ghazali memisahkan antara kritik metafisika dan penerimaan sains eksakta (Tahāfut, h. 109).
Frank Griffel dalam Al-Ghazali’s Philosophical Theology (2009, h. 81) menjelaskan bahwa proyek Ghazali adalah “menggunakan filsafat untuk membangun kembali teologi,” bukan meruntuhkannya. Karena itu, Griffel menyebut al-Ghazali sebagai philosophical theologian: seorang teolog yang menguasai filsafat dan menjadikannya instrumen untuk memperkuat iman. Pendekatan ini juga terlihat dalam al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād, ketika ia menulis:
«العقل أصل النقل، ولو لا العقل لما ثبت النقل»
“Akal adalah fondasi bagi wahyu; tanpa akal, wahyu tidak mungkin bisa dibuktikan.” (h. 14).
Baca Juga: Hujjatu Ahlusunnah Wal Jamaah; Dalil Penguat Amaliah Aswaja
Keterbukaan al-Ghazali pada logika Aristotelian juga menjadi bukti. Ia menulis Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Qisṭās al-Mustaqīm sebagai panduan logika, lalu menjadikannya bagian integral dalam kurikulum usul fikih, sebagaimana tampak dalam al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl. Dengan langkah ini, al-Ghazali justru menginstitusionalisasi logika dalam studi keagamaan Islam, sehingga generasi setelahnya tidak mungkin mengabaikan filsafat secara total. Dimitri Gutas menegaskan bahwa justru “setelah al-Ghazali, logika Aristotelian menjadi instrumen standar dalam madrasah” (Greek Thought, Arabic Culture, 1998, h. 234).
Lebih jauh, al-Ghazali tidak menolak rasionalitas, melainkan mengoreksinya agar tetap terikat pada horizon teologis Islam. Dalam bahasa kontemporer, ia sedang mengajukan epistemologi integratif: filsafat boleh dipakai, tetapi harus selaras dengan prinsip keimanan. Dengan demikian, al-Ghazali tidak dapat dianggap sebagai penghambat filsafat; ia adalah pengarah, yang mengingatkan agar filsafat tidak terjerumus dalam klaim metafisis yang meniadakan wahyu.
Maka, kritik al-Ghazali terhadap filsafat sejatinya bersifat sejajar, bukan destruktif. Ia berdialog dengan para filosof, menggunakan perangkat mereka, lalu membatasi ruang geraknya agar tetap berada dalam pagar akidah. Dengan cara itu, ia justru membuka ruang bagi sintesis: filsafat dan kalam tidak lagi berhadap-hadapan, melainkan bersilangan dalam satu horizon intelektual. Inilah warisan sejati al-Ghazali, yang kerap dikaburkan oleh narasi reduksionis.
Bersambung…
Ahmad Ilham Zamzami | Annajahsidogiri.id