Bidah adalah satu dari dua permasalahan yang kerap dibuat hujah oleh kalangan Salafi Wahabi selain masalah sifat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kami membahas bidah, tujuannya mematahkan syubhat mereka.
Kita sepakat bahwa bidah syar’iyah adalah hal baru yang tidak ada di masa Rasulullah SAW, serta menyelisihi kaidah-kaidah agama, baik berkaitan ibadah, akidah, maupun tasawuf. Semua itu tercela dan harus dijauhi. Begitu banyak hadis Nabi dan ucapan ulama salaf yang memerintahkan kita menjauhi bidah syar’iyah. Namun, perlu diketahui bahwa ulama masih bersilang pendapat dalam mengartikan bidah.
Baca Juga: Akar Kontroversi Salafi-Wahabi
Ulama Ahlussunnah wal Jamaah membagi bidah menjadi dua, bidah qobihah (jelek) dan bidah hasanah (bagus). Kita sepakat bahwa bidah pertama tidak boleh dijadikan dalil ataupun diamalkan. Namun, yang jadi permasalahan adalah dalam menyikapi bidah kedua.
Dalam menyikapi bidah hasanah, ulama terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa hal baru, baik dalam urusan agama atau dunia, ada yang baik dan buruk. Barometernya adalah isyarat nas syariat atau mengembalikan pada nas dalam al-Qur’an dan hadis melalui jalan qiyas. Bila sesuai dengan kaidah syariat dalam al-Qur’an dan sunah, maka disebut bidah yang baik. Pun sebaliknya.
Kedua, ulama—dalam hal ini wahabi—yang menyatakan bahwa tiap hal yang tidak ada di zaman Rasulullah adalah bidah tercela dan mutlak haram. Lebih ekstrim lagi, mereka menolak amaliyah sahabat atau ulama salaf yang dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan pekerjaan Rasulullah.
Baca Juga: Albani Salah Memahami al-Quran
Ketiga, sebagian ulama Ahlusunnah yang berpandangan bahwa perkara baru dalam agama jika masuk dalam keumuman kaidah-kaidah syariat yang menunjukkan baik, maka mereka tidak menyebutnya sebagai bidah. Alasannya, bidah adalah istilah syariat yang berlaku bagi perkara-perkara buruk. Sementara perkara baru yang tidak buruk, maka tidak bisa disebut bidah.
Uraian di atas memberikan kita fakta bahwa kelompok pertama dengan kelompok ketiga secara ushul dan kaidah bidah tidak bertentangan. Dalam kata lain, silang pendapat di antara dua kubu ini hanyalah bersifat tekstual.
Adapun perbedaan kelompok pertama dan ketiga dengan kelompok kedua berada di ranah khilaf haqiqi. Sayangnya dalil kelompok kedua bisa dibilang lemah dan ulama yang mendukungnya juga amat sedikit, seperti Imam as-Syaukani dan Imam as-Shan’ani.
Uniknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, Bapak Wahabi dunia, dalam kitabnya menyatakan,
نَخْلَعُ جَمِيْعَ البِدَعِ اِلَّا بِدْعَةً لَهَا أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ كَجَمْعِ المُصْحَفِ فِي كِتَابٍ وَاحِدٍ وَجَمْعِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الصَّحَابَةَ عَلَى التَرَاوِيْحِ جَمَاعَةً وجَمْعِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَصْحَابَهُ عَلَى القَصَصِ كُلَّ خَمِيْسٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا حَسَنٌ
“Kami menolak semua bidah kecuali bidah yang mempunyai dasar dari syariat, seperti menghimpun mushaf dalam satu kitab, instruksi Sayidina Umar agar melaksanakan shalat tarawih secara berjemaah, Ibnu Masud yang mengumpulkan sahabatnya untuk berpidato tiap Kamis dan yang semisalnya, maka ini baik.”
Di sini bisa kita simpulkan bahwa kaum wahabi tidak konsisten dalam menyikapi bidah. Terbukti dengan adanya pernyataan imam mereka yang justru membenarkan pembagian bidah hasanah, sebagaimana penulis paparkan barusan.
Yusril Zamahendra | Annajahsidogiri.id