Gerakan kesetaraan gender (feminisme) merupakan salah satu isu yang sering kali menjadi topik perbincangan kalangan akademisi. Sekilas gerakan ini memang baik karena seolah ingin mengangkat martabat wanita. Namun sebenarnya gerakan feminisme adalah sebuah ancaman karena berusaha menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam segala aspek secara membabi buta yang mana hal itu bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Laki-laki dan wanita memiliki beberapa perbedaan dalam penciptaannya. Para aktivis feminis acapkali mengkritik ketetapan syariat Islam karena dianggap mendiskriminasi wanita karena dalam Islam ada beberapa ketetapan yang membedakan antara pria dan Wanita.
Islam adalah agama yang fitrah, semua syariat yang Allah tetapkan pasti sesuai dengan fitrah penciptaannya. Sebenarnya wanita dan pria sama dalam pandangan Islam, hanya saja fitrah dan kodrat wanita yang menuntut munculnya beberapa ketetapan berbeda dalam Islam. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa Islam tidak membeda-bedakan status gender (jenis kelamin) pria dan wanita, misalnya masalah had pencurian dalam al-Qur’an:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”(An-Nisa’:38)
Dalam ayat tersebut jelas sekali, Allah memerintahkan untuk memotong tangan orang mencuri tanpa membedakan gender sang pelaku.
Islam juga memahami bahwa balasan atas amal kebaikan seseorang tidak memilah jenis kelamin. Siapa pun yang berbuat baik dalam keadaan beriman maka akan mendapatakan balasan dari Allah, baik laki-laki ataupun perempuan sebagaimana dalam surah An-Nahl:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(An-Nahl:97)
Kesetaraan Menurut Islam
Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhul-Islami menjelaskan bahwa keseteraan gender diakui dalam Islam hanya dalam beberapa perkara saja, di antaranya;
- Dalam sifat-sifat kemanusiaan (Insaniyah). Sebagaimana keterangan dalam surah An-Nisa’ ayat pertama.
- Kesetaraan dalam kewajiban menjalankan agama baik yang bersifat akidah (keyakinan) ataupun syariat (amaliah). Laki-laki dan perempuan sama-sama berkewajiban menjalankan.
- Dalam bidang pendidikan dan akhlak yang mulia, Laki-laki dan perempuan diperintah untuk ikhlas, menghindari hasud, riya’ dan sifat tercela lainnya, sebagaimana dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12 dan At-Tahrim ayat 6.
- Sama dalam hak mendapat perlindungan jiwa, sebagaimana dalam surah At-Takwir ayat 8-9.
- Sama dalam kewajiban mencari ilmu baik yang bersifat fardu ‘ain ataupun kifayah.
- Sama dalam berhak menerima uqubah atau sangsi atas suatu pelanggaran.
- Hal-hal yang berkaitan dengan transaksi (akad) serta berhak dalam pengelolaan harta masing-masing.
- Dalam berperan memperjuangkan Islam sesuai bidangnya masing-masing.
Adapun kesetaraan gender dalam hal-hal yang sudah ada ketetapan berbeda dalam Islam merupakan bidah serta dapat merusak tatanan berkehidupan, karena bertentangan dengan fitrah wanita.
Masalah poligami adalah salah satu ketetapan dalam Islam yang hanya diperkenankan terhadap kaum pria, sedangkan wanita tidak diperbolehkan poliandri. Ali Ahmad al-Jarjahi dalam kitab Hikmatut-Tasyri’ Wa Falsafatuhu memaparkan hikmah tidak diperkenankan poliandri bagi wanita, sebagaimana penjelasan beliau;
“Andaikan wanita menikah dengan lebih dari satu pria, niscaya nasabnya akan bercampur dan tidak diketahui siapa ayah dari anak si wanita.”
Fitrah wanitalah yang tidak memperkenakan wanita menikahi lebih dari satu pria, karena hal itu justru akan merugikan wanita. Ali Ahmad al-Jarjahi juga menjelaskan hikmah mengapa Allah menetapkan bagian ashobah perempuan dalam warisan separuh dari bagian laki-laki.
“Hikmah bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan, karena laki-laki sudah dilelahkan dengan mencari rezeki dan menafkahi keluarga, anak-anak serta orang yang wajib ia nafkahi.” (Hikmatut-Tasyri’ Wa Falsafatuhu. Hal.264).
Jika kita merenungkan hikmah-hikmah di balik adanya beberapa hukum berbeda antara laki-laki dan wanita, kita pasti akan paham bahwa yang menjadi asas dari hukum Islam adalah keadilan bukan kesetaraan, dan adil tidak harus sama rata, melainkan sesuai porsi dan kebutuhan masing-masing. Andaikan wanita dan pria sama-sama diwajibkan bekerja, sedangkan kekuatan fisik mereka berbeda justru itu ketidakadilan yang memberatkan wanita.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id