Pada kesempatan kali ini, kami akan mengulas sekilas ajaran pokok sekte Jubbaiyyah yang merupakan salah satu sekte sempalan Muktazilah. Secara garis besar, sekte ini tak ubahnya sekte sempalan Muktazilah yang lain dalam memahami ajaran mereka yang mendasar, seperti; at-Tauhid, al-Adl, Manzilah bainal-Manzilatain, dls. Dan untuk itu, kami akan tampilkan pemahaman-pemahaman aliran ini dari kitab at-Tabshir fi ad-Dîn (hlm.78-79).
Pemahaman yang menyimpang
Sekte yang dipelopori Abi Ali al-Jubba’i (yang dulunya pernah menjadi gurunya abul Hasan al-Asy’ari) ini mempunyai beberapa paham tersendiri yang tentunya menjadi ciri khas mereka, di antarannya:
Hakikat ketaatan;
Menurut prespektif dangkal mereka, ketaatan merupakan kesinambungan daripada kehendak Allahﷻ. Seorang hamba yang melaksanakan perintah Allahﷻ(taat) berarti kehendak Allahﷻ telah mencocoki pada perbuatan hamba tersebut. Pernyataan ini jelaslah salah. Tanpa disadari, mereka sama halnya telah mengatakan bahwa Allahﷻ menuruti (taat) pada hambanya. Maka sekali lagi, pernyataan ini tentu tidak dibenarkan.
Pernyataan tersebut telah menyalahi konsensus ulama, bahwa orang yang mengatakan demikian (Allah taat pada hambanya), maka layaknya telah mendapatkan predikat kafir. Maka, seandainya pun boleh mengatakan sedemikian, maka boleh mengatakan bahwa Allah rendah di hadapan hambanya. Dan sudah sangat jelas, hal ini tidak dibenarkan dalam akidahnya mukmin sejati.
Asmâ Allah;
menurut paham mereka, semua nama-nama (asmâ) Allah boleh dibentuk (musytaq) dari semua yang menjadi pekerjaan-pekerjaan Allah, hingga seandainya pun menjadi sebuah nama yang tidak pernah didengar dan dilegalkan oleh syariat, seperti penghamil seorang wanita (محبل النساء).
Dalam kitab al-farqu bainal-firoq (hlm.136), syekh Abdul Qohir al-Isfiroyni memaparkan bahwa Syekh abul-Hasan al-Asy’ari telah membantah pemahaman ini (asmâ Allah bisa dimusytaq). Beliau mengomentari bahwa hal ini merupakan bid’ah yang lebih buruk daripada bid’ahnya orang-orang Nasrani, yang mana Nasrani mengatakan bahwa Allah ialah bapak Nabi Isa, namun tidak sampai mengatakan bahwa Allahﷻ yang mengahamili Maryam.
Pemahaman yang sama
Di samping itu, sekte al-Jubba’iyyah ini juga mempunyai kesamaan dengan golongan Ahlusunnah wal-Jamaah, yakni dalam masalah kepemimpinan (imamah), yaitu dengan cara pemilihan. Bukan dengan cara penentuan atau wasiat dari pemimpin (imam) sebelumnya seperti yang diyakini oleh kelompok Syiah (rafidhah). Menurut paham al-Jubba’iyyah, keutamaan sahabat bisa dibedakan melalui berurutannya kepemimpinan (imamah), dengan pemahaman, sayyidina Abu Bakar lebih utama dari pada sayyidina Umar. Sebab sayyidina Abu Bakar mendahului sayyidina Umar dalam kepemimpinannya. Hanya saja, sekte ini mengingkari esensi karamah yang dimiliki para wali Allah, baik dari kalangan sahabat ataupun selainnya. Demikian disebutkan dalam kitab al-Milal wa an-Nihal (dar al-fikr) (hlm.85).
Kemudian, setelah mengetahui secara ringkas paham-paham sekte Jubba’iyah sebagaimana pemaran di atasmaka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sekte Jubba’iyyah adalah sekte yang kurang memiliki sopan santun. Sehingga, mereka tidak menyadari bahwa paham-paham menyeleweng mereka dapat menghilangkan sifat keberhambaan pada diri seorang mukmin, yang mana seorang hamba dituntut untuk selalu rendah di hadapan tuhannya. Ta’alaa Allahu ‘an dzalika ‘uluwan kabîra.
Moch. Rizky Febriansyah | Annajahsidogiri.id