Sifat kalam Allah merupakan salah satu dari 20 sifat yang wajib bagi Allah. Imam as-Sanusi dalam Ummul-Barahin-nya dan Syekh Ibrahim al-Laqani al-Mishri dalam Hidayatul-Murid-nya, sama-sama menyebutkan bahwa Ahlusunah wal Jamaah berpendapat kalau kalamullah adalah sifat yang tak bermula (azali), tidak terdiri dari rangkaian huruf dan suara, tidak memiliki ketiadaan (kevakuman firman), tidak memiliki bagian, baik unsur awal maupun unsur akhir.
Lebih terang lagi, Imam Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri dalam syarhu Jauharatut-Tauhid-nya menambahkan, bahwa kalamullah juga suci dari adanya bisakan hati (Kaunun-Nafsi), dalam artian kalam itu masih memerlukan pengaturan dari sifat qudrat Allah. Begitu pula terbebas dari kecacatan yang tak kasat mata (Afatul-Bathinah), dengan pemahaman Allah tak punya kemampuan untuk berkalam (sebagaimana orang bisu). Maha suci Allah atas segala kekurangan di atas.
Jika kita telah mengetahui bahwa kalamullah takkan pernah vakum, maka kita akan mengerti bahwa makna firman Allah,
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.” (QS. an-Nisa’:164)
Bukanlah firman yang baru difirmankan setelah Allah tidak berfirman. Juga bukan berarti setelah Allah berbicara dengan Nabi Musa Lantas Allah tidak lagi berfirman.
Terlepas dari keterangan di atas, al-Qur’an merupakan firman Allah yang terdiri dari ‘susunan maha dahsyat’. Sehingga para pujangga dan sastrawan manapun tak mampu membuat minimal surat terpendek yang ada dalam al-Qur’an. Inilah yang menjadi cikal bakal alasan al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad.
Baca Juga: Kalam Allah Bukan Makhluk
Imam ad-Dasuqi dalam karyanya yang bertajuk Hasyiyah ad-Dasuqi menyebutkan bahwa mukjizat masing masing nabi disesuaikan dengan peristiwa populer yang terjadi di masa itu. Pada masa Nabi Musa terdapat banyak penyihir. Maka mukjizat Nabi Musa berupa tongkat yang berubah menjadi ular, ular itu pun kemudian memakan ular-ular penyihir Fir’aun, hingga membuat para penyihir Fir’aun tak dapat menandingi mukjizat tersebut.
Pada masa Nabi Isa banyak bermunculan para tabib. Maka Nabi Isa diberi mukjizat mampu menyembuhkan penyakit buta, lepra dan bahkan mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal. Pada masa Nabi kita Muhammad SAW dipenuhi oleh para pujangga dan ahli sastra. Maka al-Qur’an-lah mukjizat Nabi yang secara kesastraan tak dapat ditandingi oleh mereka, meski membuat semisal surat terpendek yang ada dalam al-Qur’an.
Lantas, benarkah al-Qur’an itu kalamullah yang qadim? (pertanyaan seperti inilah yang menyebabkan Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya disiksa saat peristiwa Minahul-Kubra). Dalam al-Ma’man min adh-Dhalalah dan Kifayatul-Awam karya Syekh Muhammad Fadhal, disebutkan bahwa al-Qur’an juga bisa disebut kalamullah bila ditinjau dari segi makna yang ditunjukkan (dalalah). Bukan dalam arti kalamullah menjelma di dalam al-Qur’an. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa keberadaan sesuatu pada sesuatu yang lain memiliki dua unsur pola:
Pertama, bisa jadi sesuatu tersebut bertempat di dalamnya, sebagaimana keberadaan Ali di masjid. Kedua, bisa jadi sesuatu itu tertuju pada sesuatu yang lain, seperti yang terdapat dalam untaian kata.
Nah, kalamullah yang terdapat dalam al-Qur’an ini sesuai dengan unsur yang kedua. Seperti contoh ayat al-Qur’an:
وَاَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
“Dan dirikanlah salat….”
Sama dengan kalamullah yang qadim. Namun, bukan berarti kalamullah yang qadim itu menetap dalam al-Qur’an. Karena Jika dikatakan demikian maka kalamullah memiliki permulaan (tidak azaly). Apabila kita sudah mengetahui bahwa kalamullah itu tidak bertempat, maka tidak boleh kita katakan bahwa kalamullah yang qadim ada di mushaf, hati ataupun lisan.
Senada dengan hal ini, al-Qur’an yang acapkali kita dengar dan kita baca merupakan perkara yang baru datang [حادث]. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Bukhari yang dikutip oleh Syekh Nuh Ali Salman dalam Mukhtashar Murid-nya. Al-Bukhari berkata, “Lafal yang ada di dalam al-Qur’an adalah perkara yang baru datang, dengan arti bacaan yang didengar ketika aku membaca al-Qur’an.” Berikut redaksi arab perkataan Imam Bukhari:
لَفْظِيٌّ بِالْقُرْأَنِ حَادِثٌ؛اَيْ:مَا يُسْمَعُ مِنِّي وَاَنَا اَقْرَأُ اْلقُرْأَنَ حَادِثٌ
Jadi, kita tidak bisa serta-merta mengatakan al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim, sebagaimana keterangan di atas. Namun di sisi lain Kita tidak boleh menganggap al-Qur’an adalah kalam manusia, bahkan hal itu akan menyebabkan kita kafir, sebagaimana pendapat Imam Tahawi dalam kitab ‘Aunul-Murid . At-Tahawi berkata,” Siapapun yang mendengar bacaan ayat al-Qur’an, lalu menduga kalau itu adalah kalam manusia, sungguh dia telah kafir.” Wallahu a’lam.
Muhammad Roviul Bada | Annajahsidogiri.id