Salah-satu kitab tauhid fenomenal di kalangan pesantren ialah Ummul-Barahin adikarya Imam Muhammad bin Yusuf bin Syu’aib as-Sanusi, yang kita kenal dengan sebutan Imam Sanusi. Kitab tersebut masyhur dengan sebutan ‘Aqidah Shaghir, kitab kecil tentang akidah.
Kemudian, Imam Sanusi memberikan penjelasan lebih lanjut (syarh) terhadap kitabnya sendiri. Syarh Ummul-Barahin tersebut dikenal dengan sebutan ‘Aqidah Kabir, kitab besar tentang akidah.
Kitab tersebut fokus menerangkan dalil akal (barahin) setiap sifat Allah dan Rasul-Nya yang wajib diketahui orang mukalaf. “Mencari” Tuhan menggunakan kitab ini sangat sederhana, yakni meyakinkan kita bahwa alam itu baru.
BACA: Mengkritik Pemikiran Parmenides Tentang Alam (Bukti Alam Baru)
Ketika alam itu terbukti baru, jelas membutuhkan kepada yang menciptakan (pembaharu/muhdits). Hal ini diungkapkan oleh beliau dengan dawuh-nya:
“Apabila sudah jelas dengan (dalil) ini bahwa alam itu baru, jelas pula bahwa alam membutuhkan kepada pembaharu/pencipta” (Ummul-Barahin: 179)
Dengan ini, kita sudah sampai pada kesimpulan: Tuhan sebagai Sang Pencipta itu harus ada. Tinggal melangkah kepada sifat-sifat dari Tuhan itu sendiri.
“Apabila pencipta itu tidak qadim, maka berarti pencipta itu hadis/baru. (Ini mustahil karena) menyebabkan daur atau tasalsul (yang mana keduanya mustahil).” (Ummul-Barahin: 180)
Mushannif menerangkan di sini, bahwa pencipta itu mestinya tidak diciptakan, alias Tuhan itu ada sejak dahulu; tidak berawal. Mustahil pencipta itu diciptakan.
Bila setiap pencipta itu diciptakan, maka pastinya pencipta butuh kepada pencipta sebelumnya. Begitu pula pencipta sebelumnya membutuhkan kepada pencipta sebelumnya lagi. Begitu seterusnya, tanpa berujung (tasalsul). Ini jelas tidak masuk akal.
Sampai di sini, kita sudah menyimpulkan bahwa Tuhan itu wajib wujud (ada) dan qidam (tidak berawal). Secara otomatis kita menyimpulkan bahwa Tuhan itu kekal.
“Andai pencipta dimungkinkan nantinya tidak ada (‘adam), berarti pencipta tidak qidam, lantaran keberadaan pencipta menjadi jaiz, bukan wajib. Tidak ada sesuatu jaiz, kecuali merupakan perkara hadis. Bagaimana hal itu terjadi, sedangkan telah saya terangkan barusan bahwa pencipta itu wajib qidam (mustahil hadis)”. (Ummul-Barahin: 183)
Keberadaan pencipta, itu wajib. Tanpa awal (qidam) dan tanpa akhir (baqa’/kekal). Bila ada akhir, maka berarti keberadaannnya tidak wajib, lantaran bisa hilang. Ini mustahil, berdasarkan dalil: Tuhan itu bukan perkara hadis, yang jaiz keberadaannya, alias Tuhan itu wajib qidam.
Daftar Istilah
Qadim/qidam: tidak berawal.
Baqa’: kekal, abadi dan tidak berakhir.
‘Adam: tidak ada.
Wajib: sesuatu yang menurut akal pasti ada.
Mustahil: sesuatu yang menurut akal pasti tidak ada.
Jaiz: sesuatu yang menurut akal bisa ada dan tidak.