Sahabat #SerialAkidahAwam yang dirahmati oleh Allah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas lanjutan dari pembahasan sebelumnya, yaitu pembahasansifat hayat Allah yang tercakup dalam nazam:
فَقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سـَمْـعٌ بـَصَرْ * حَـيَـاةٌ الْعِلْـمُ كَلاَمٌ اسْـتَمَرْ
“Kemudian sifat kodrat, iradat, samak, basar, hayat, ilmu dan kalam secara terus berlangsung”
Syekh Muhammad al-Fudhali dalam kitab Kifâyatul-‘Awâm (hlm. 52) menakrifi sifat hayat sebagaimana berikut:
وَهِيَ صِفَةٌ تُصَحِّحُ لِمَنْ قَامَتْ بِهِ الاِدْرَاكَ كَالعِلْمِ والسَمْعِ وَالبَصَرِ
“Sifat hayat adalah sifat yang membenarkan Dzat yang memiliki sifat Idrak, seperti sifat Ilmu, samak, dan basar.”
Sebagaimana telah maklum, Allah itu wajib bersifat kodrat, iradat, samak, dan basar. Jika Allah wajib bersifatan dengan semua sifat di atas, maka jelas juga wajib bagi-Nya untuk bersifat hayat. Sebab, mana mungkin ada Dzat Yang Maha Menciptakan dan Maha Menghidupkan, namun Dia sendiri tidak hidup (memiliki sifat hayat).
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 255:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ (البقرة [٢]: ٢٥٥)
“Allah, tiada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur.” (QS. al-Baqarah [02]: 255)
Dalam surah al-Furqân ayat 58:
(الفرقان [٢٥]: ٥٨) وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهۗ وَكَفٰى بِه بِذُنُوْبِ عِبَادِه خَبِيْرًا ۚ
“Bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Hidup yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.”(QS. al-Furqan [25]: 58)
Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa Allah itu hidup kekal dan tidak mungkin mati. Sudah kita ketahuhi dari pembahasan-pembahasan terdahulu, bahwa Allah itu berbeda dengan semua makhluk-Nya. Begitupun dalam sifat hayat, Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya.
Macam-macam Kehidupan
Berbicara tentang kehidupan, maka kehidupan yang tampak bagi kita di dunia ini terbagi menjadi tiga macam:
- Kehidupan tumbuhan, yang memiliki beberapa tanda, seperti semakin berkembang dan bertambah banyak.
- Kehidupan hewan, yang memiliki beberapa tanda, seperti berkembang biak, bertambah banyak dan bergerak.
- Kehidupan manusia, yang memiliki tanda-tanda yang lebih lengkap daripada dua macam di atas, karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Di antara tandanya adalah, sebagaimana yang dimiliki hewan, cara berpikir yang meningkat, bisa berpikir jangka panjang, memperbaiki kondisi jasmani maupun rohani, dan semacamnya.
Tiga macam kehidupan di atas bukan yang dimaksud dalam sifat hayat Allah. Oleh karena itu, Syekh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah menakrifi sifat hayat yang wajib bagi Allah dalam kitab Mûjazul-Kalâm Syarhu ‘Aqîdatil-‘Awâm (hal. 78) dengan:
وَالحَيَاةُ صِفَةٌ أَزَلِيَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى تَقْتَضِي صِحَّةَ العِلْمِ وَالقُدْرَةِ وَالاِرَادَةِ وَالكَلَامِ وَالسَمْعِ وَالبَصَرِ
“Sifat hayat adalah sifat azali yang ada pada Dzat Allah yang membenarkan bolehnya (sah) sifat ilmu, kodrat, iradat, kalam, samak, dan basar.”
Takrif ini sebenarnya tidak menjelaskan hakikat kehidupan, akan tetapi menjelaskan tentang keniscayaan yang menetapkan kehidupan. Kita telah mengetahui serta beriman bahwa Allah itu Maha Pencipta, Maha Berkehendak, Maha Melihat, dan Maha Mendengar. Dengan demikian, Allah wajib memiliki sifat hayat.
Apakah Allah hidup karena kehendak-Nya?
Pernah penulis temukan sebuah pernyataan bahwa “Allah hidup dengan kehendak-Nya sendiri” dalam sebuah situs yang menerangkan tentang 20 sifat wajib Allah. Secara lahir, mungkin tidak ada masalah dalam pernyataan itu. Akan tetapi, jika kita memahami sifat-sifat Allah beserta ta‘alluq-nya, maka akan kita dapati kesalahan dalam pernyataan tersebut.
Sifat hayat bagi Allah itu wajib secara akal. Sedangkan, sifat iradat Allah itu tidak berkaitan dengan perkara wajib ataupun mustahil secara akal, sifat iradat hanya ber-ta‘alluq dengan hal-hal yang mungkin, sehingga sifat hayat bagi Allah yang berhukum wajib sama sekali tidak memiliki kaitan dengan sifat iradat Allah.
Hal tersebut sebagaimana pernah disinggung oleh Muhammad Ibnu Romli dalam tulisannya yang berjudul “Mengenal 7 Ta’alluq Sifat Kodrat”. Lantas, apakah Allah tidak mampu karena Iradat-Nya tidak berpengaruh pada perkara wajib dan mustahil? Tentu tidak! Sebab iradat-Nya tidak memiliki kaitan dengan perkara wajib dan mustahil. Sama halnya dengan kata jatuh, pasti ke bawah tidak mungkin ke atas, sebab kaitannya jatuh dengan arah bawah bukan atas. Wallâhu a‘lam.
Muh. Shobir Khoiri | Annajahsidogiri.id