Mengaji kitab Aqidatul-Awam, tidak lepas dari pembahasan shifatut-ta’tsir yang terkumpul dalam bait:
وَحَيّ* قَـادِرٌ مُـرِيـْدٌ عَـالِمٌ بِكُلِّ شَيْ
“(Allah itu) Mahahidup, Mahakuasa, Maha Menghendaki, Maha Mengetahui atas segala sesuatu”
Dalam duapuluh sifat “wajib” Allah yang mukallaf wajib mengetahuinya, terdapat empat sifat penciptaan, yakni: kodrat, iradat, ilmu, dan hayat. Mari sahabat #SerialAkidahAwam mempelajari keempat sifat itu lebih lanjut. Mulai dari ta’alluq,
Ta’lluq Sifat
Setiap sesuatu memiliki ta’alluq (kaitan) tersendiri. Berbicara jatuh, tentu kaitannya ke bawah. Tidak ada ceritanya, kata jatuh disematkan untuk sesuatu yang meluncur ke atas. Berbeda dengan kata naik, yang berkaitan dengan arah atas.
Begitu pun dengan sifat. Tiap sifat ma’ani memiliki ta’alluq tersendiri. Imam al-Baijuri dalam Tahqiqul-Maqam ‘ala Kifayatil-Awam fi ‘Ilmil-Kalam (111) menjelaskan bahwa kaitan sifat ma’ani terbagi menjadi empat macam:
- Sifat yang ber-ta’alluq dengan mumkinat, yakni sifat kodrat dan iradat.
- Sifat yang ber-ta’alluq dengan maujudat, yakni sifat samak dan basar.
- Sifat yang ber-ta’alluq dengan semua hukum akal (wajib, mustahil, dan jaiz), yakni sifat ilmu dan kalam.
- Sifat yang tidak ber-ta’alluq sama-sekali, yakni sifat hayat.
Mengetahui ta’alluq sangat penting dalam kajian ilmu kalam. Banyak kemusykilan perihal akidah, yang dilatarbelakangi kurangnya mengetahui ta’alluq. Semisal, pertanyaan: apakah Allah mampu menciptakan anak tuhan? Pertanyaan semacam ini muncul gara-gara kurang memahami ta’alluq sifat.
Bila kita kaji dari sisi ta’alluq, pertanyaan tersebut tidak nyambung. Karena urusan kodrat dan iradat hanya ber-ta’alluq dengan sesuatu yang mungkin secara akal. Secara akal, keberadaan anak tuhan berhukum mustahil. Jadi tidak nyambung bila dikaitkan dengan kemampuan dan kekuasaan pencipta.
Namun, bukan berarti Allah lemah, atau tidak mampu. Karena sifat lemah, juga berkaitan dengan sesuatu yang mungkin. Seseorang dikatakan lemah, bila tidak mampu melakukan sesuatu yang mungkin dilakukan.
Pertanyaan tersebut, tidak ubahnya menanyakan: bisakah jatuh ke atas? Jelasnya, antara jatuh dan atas tidak berkaitan. Begitu pula keberadaan anak tuhan dengan sifat kekuasaan sama-sekali tidak ber-ta’alluq.
Dalam kitab Fathul-Majid Syarh Durrul Farid fi ‘Aqaidi-Ahlit-Tauhid (23) Syekh Nawawi, Banten menerangkan:
فَاِذَا قَالَ لَكَ قَائِلٌ هَلِ اللَّهُ قَادِرٌ أَنْ يَتَّخِذَ شَرِيْكًا اَوْ زَوْجَةً اَوْ وَلَدًا فَلَا تَقُلْ لَهُ هُوَ قَادِرٌ عَلَي ذَلِكَ لِاَنَّ ذَلِكَ مُسْتَحِيْلٌ وَاْلقُدْرَةُ لَا تَتَعَلَّقُ بِهِ وَلَا تَقُلْ لَهُ لَيْسَ بِقَادِرٍ لِأَنَّكَ تَثْبُتُ لَهُ العَجْزُ وَاْلعَجْزُ عَلَيْهِ تَعَالَى مُحَالٌ وَإِنَّمَا تَقُوْلُ هَذَا مُسْتَحِيْلٌ وَقُدْرَتُهُ تَعَالَى لَا تَتَعَلَّقُ بِالْمُسْتَحِيْلِ فَتَنَبَّهْ لِذَلِكَ فَقُدْرَتُهُ تَعَالَى لَا تَتَعَلَّقُ إِلَّا بِاْلمُمْكِنَاتِ لَا بِالْوَاجِبَاتِ وَلَا بِالْمُسْتَحِيْلَاتِ
“Apabila seseorang menanyakan kepadamu, ‘apakah Allah mampu menciptakan sekutu, istri dan anak?’ Janganlah kalian jawab, ‘Allah mampu,’ sebab hal itu mustahil. Sedangkan sifat kodrat tidak berkaitan dengan perkara mustahil. Jangan pula kamu jawab, ‘Allah tidak mampu’ sebab dapat menisbatkan sifat lemah kepada Allah. Sedangkan Allah mustahil lemah. Namun, jawablah, ‘Itu mustahil, sedangkan sifat kodrat Allah tidak berkaitan dengan hal mustahil. Ingat, sifat kodrat hanya berkaitan dengan sesuatu yang mungkin. Tidak berkaitan dengan yang wajib dan mustahil”.
Oleh karenanya, sifat kodrat dalam Kifayatul-Awam (110) didefinisikan dengan:
صِفَةٌ تُؤَثِّرُ فِي الْمُمْكِنَاتِ
“Sifat yang berefek kepada sesuatu yang mungkin”
Begitu pula sifat iradat dalam Kifayatul-Awam (116) memiliki definisi:
صِفَةٌ تُخَصِّصُ الْمُمْكِنَ بِبَعْضِ مَا يَجُوْزُ عَلَيْهِ
“Sifat yang menentukan sesuatu yang mungkin, dengan sebagian ketentuan yang tergolong jaiz”
Alhasil, kedua sifat ini hanya berkaitan dengan sesuatu yang mungkin. Jangan dikait-kaitkan dengan sesuatu yang wajib dan mustahil.
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id