Pembahasan seputar ghaibiyyat merupakan hal yang sangat rumit. Bagaimana tidak, hal gaib yang merupakan sesuatu tidak bisa dipancaindra harus kita imani. Hal itu, menurut Syekh al-Buthi dalam kitabnya, Kubrâl-Yaqînîyyât al-Kauniyyat, karena telah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam untuk mengimani hal gaib. Sesuai perintah Allah dalam al-Qur’an:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ (البقرة [٢]: ٣)
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [02]: 03)
Namun, yang menjadi keganjilan adalah, bagaimana cara kita mengimani hal gaib, meninjau bahwa hal gaib tidak bisa dipancaindra. Apakah harus melihat dengan jelas mengunakan mata kepala sendiri seperti melihat jin, malaikat, ruh, dan semacamnya? Atau cukup berpedoman pada dalil-dalil yang ada, baik dalam al-Qur’an atau hadis, yang menyatakan keberadaan hal gaib. Untuk lebih jelasnya mari kita bahas lebih lanjut:
Cara Mengimani Ghaibiyyat
Dalam kajian kali ini, kami tertarik untuk membahasnya menggunakan kitab Kubrâl-Yaqînîyyât al-Kauniyyat. Dalam kitab tersebut, Syekh al-Buthi menyinggung sedikit tentang kriteria-kriteria ghaibiyyat. Beliau memberikan contoh beriman kepada Allah, malaikat-Nya, dan semacamnya.
Setelah itu, beliau mengupas tuntas bagaimana cara agar akal dan pengetahuan bisa mencapai tahap meyakini ghaibiyyat. Beliau memberikan tiga perumpamaan untuk mengimani hal gaib:
Pertama, ketika dokter memperlihatkan satu gelas minuman yang ia bawa kepada pasien yang sedang sakit seraya berkata, “Minuman ini membahayakan kesehatanmu”, maka secara spontan si pasien akan langsung mempercayainya dan langsung menghindari minuman yang dokter tunjukkan; tanpa berpikir panjang apakah perkataan dokter itu benar atau tidak. Padahal, dia tidak mengetahui tentang ilmu kedokteran, yang dia tahu bahwa setiap hal yang dikatakan dokter itu benar adanya, tidak mungkin berdusta.
Kedua, ketika ada salah satu astronom memberikan berita bahwa akan terjadi gerhana bulan pada hari tertentu, tentunya orang-orang akan meyakini bahwa berita itu benar adanya karena bersumber dari ahlinya, bukan sekedar rumor belaka tanpa dasar.
Ketiga, ketika para petugas di perusahaan listrik (seperti PLN) memberi kabar bahwa mereka akan memutus pasokan listrik di waktu yang ditentukan, maka kita pasti akan meyakini bahwa hal tersebut akan terjadi pada waktunya.
Baca Juga; Islam Tersebar dengan Pedang (Perang) (?)
Dari tiga perumpamaan tadi, Syekh al-Buthi lalu melanjutkan penjelasannya dengan memberikan sebab mengapa orang-orang meyakini terhadap tiga hal di atas:
Pertama, dalam kasus pertama, penyebabnya adalah karena orang sakit telah meyakini bahwa dokter merupakan orang yang cerdas dalam bidang kedokteran. Selain itu, dia tahu bahwa ilmu kedokteran merupakan ilmu yang memiliki dasar dalam agama.
Sedangkan kasus kedua, faktornya adalah orang-orang telah sepakat akan keahlian para astronom dalam masalah astronomi, karena mereka adalah orang-orang yang mendalami dalam kasus tersebut.
Sedangkan kasus ketiga, alasannya adalah masyarakat tahu bahwa sitem penerangan di pelbagai daerah telah dipasrahkan sepenuhnya kepada para petugas listrik.
Kedua, karenakeyakinan masyarakat tentang kebenaran perkataan yang diucapkan oleh dokter, astronom atau petugas listrik. Masyarakat telah sepakat bahwa apa yang mereka lontarkan tidak mungkin salah.
Walhasil, dari dua faktor barusan, maka tiga perumpaan tadi bisa kita terima dengan senang hati tanpa ada keraguan sedikit pun. Begitupula dalam masalah beriman kepada Allah, rasul-rasul-Nya, malaikat-Nya, surga, neraka, arsy, dan hal-hal gaib lainnya. Kita meyakini akan keberadaan semua itu, meskipun tak bisa dilihat atau diraba dengan pancaindra. Selain karena kita meyakini bahwa semua ghaibiyyat telah di-nash oleh Allah, kita juga yakin bahwa apa yang Allah kabarkan pasti benar alias tidak mungkin bohong. Wallâhu a‘lam bish-shawâb.
Moh Zaim Rabbani | Annajahsidogiri.id
Comments 0