Sejak dini, orang tua kita telah mendidik dan mengenalkan Allah ﷻ kepada kita, kekuasaan, serta sifat-Nya, sehingga kita mengetahui Aqâid 50 secara global sebagaimana yang telah dikenal oleh umat Islam. Di dalam Aqâid 50 tersebut, di samping Allah ﷻ memiliki sifat wajib dan mustahil, Allah ﷻ juga memiliki sifat jaiz yang jumlahnya hanya satu.
Jaiz secara etimologi artinya: boleh, yakni sesuatu yang menurut akal mungkin ada dan mungkin tidak ada. Sedangkan jaiz secara terminologi jika disandarkan pada sifat Allah ﷻ maka memiliki arti:
فِعْلُ كُلِّ مُمْكِنٍ أَوْ تَرْكُه
“Mengerjakan atau meninggalkan perkara yang mungkin terjadi”
Maksudnya, Allah ﷻ boleh menciptakan atau tidak menciptakan sesuatu yang mungkin, seperti: alam semesta beserta isinya, bila Allah ﷻ menghendaki wujud, maka akan terjadi dan bila tidak berkehendak maka tidak akan terjadi, sebagaimana firman Allah ﷻ dalam al-Quran:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih.” (QS. Al-Qashas [28]: 68)
Begitu juga jaiz bagi Allah ﷻ memberi rezeki kepada makhluk ciptaan-Nya (hamba) atau tidak, karena Allah-lah yang menciptakan makhluk berikut perbuatannya, sebagaimana firman-Nnya:
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
“Allah ﷻ telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat”. (QS. Ash-Shaffat [37]: 96)
Jadi tidak ada sesuatu yang wajib Allah ﷻ kerjakan atau tinggalkan, karena Allah ﷻ merupakan fa’il bil ikhtiar (Dzat yang menciptakan terhadap apa yang dikehendaki), sebagaimana penjelasan Syekh Ibrâhîm al-Laqanî dalam kitab Tuhfâtul-Murîd-nya(hlm. 141).
Baca juga: Sifat “Wajib” Allah Hanya 20?
Dalam kitab Tuhfâtul-Murîd disebutkan bahwa ketika Allah ﷻ memberikan pahala kepada hamba-Nya yang taat, maka itu semata-mata merupakan anugerah dari Allah ﷻ, dan jika Allah ﷻ menyiksa hamba-Nya yang bermaksiat, maka semata-mata merupakan keadilan Allah ﷻ. Akan tetapi jika mengaca kepada sifat jaiz Allah ﷻ di atas, maka boleh saja Allah ﷻ memberi pahala kepada ahli maksiat dan memasukkannya ke surga, serta menyiksa ahli taat dan memasukkannya ke dalam neraka, karena ini jaiz bagi Allah ﷻ. Bahkan, kita tidak berhak mempertanyakannya, sebagaimana firman Allah ﷻ demikian:
لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُوْنَ
“(Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)
Akan tetapi ini hanya tinjauan akal saja. Adapun menurut syariat, maka Allah ﷻ tidak mungkin mengingkari janjinya, karena hal itu merupakan perkara mustahil bagi-Nya. Mengenai hal ini, Allah ﷻ telah berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji.” (QS. Ali Imran [3]: 9)
Adapun ancamannya kepada ahli maksiat bisa saja Allah ﷻ menyalahinya dengan memasukkannya ke surga, karena hal itu termasuk kemuliaan dan karunia dari Allah ﷻ.
Kesimpulannya, bahwa taat dan maksiat itu tidak akan menibulkan manfaat dan bahaya kepada Allah ﷻ, karena Allah ﷻ adalah Dzat yang memberikan manfaat dan bahaya. Maka dari itu, ketaatan seorang hamba tidak mewajibkan bagi Allah ﷻ untuk memberinya pahala, sebagaimana kemaksiatannya juga tidak menetapkan siksa pada-Nya. Hanya saja, taat dan maksiat ini sebagai tanda bahwa Allah ﷻ akan memberi pahala kepada hamba-Nya yang taat sebagai karunia dari-Nya, dan akan menyiksa hamba-Nya yang maksiat sebagai bentuk keadilan dari-Nya. Wallâhu a’lam bish-Shawwâb.
Nauval Musthofa | Annajahsidogiri.id