Adalah tradisi tanah air yang jamak kita saksikan pada tiap akhir tahun hijriah, bahwa masyarakat kita menyambut tahun baru hijriah dengan berbagai perayaan yang meriah dan melakukan berbagai ibadah. Ada yang berkumpul di masjid-masjid mengadakan zikir dan doa bersama, ada juga yang membaca doa sendiri-sendiri. Doa akhir tahun dibaca saat sore di hari terakhir bulan Zulhijah, sedangkan doa awal tahun dibaca di malam 1 Muharam. Doa tersebut tak lain dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada Allah, meminta semoga Allah menutup tahun tersebut dengan pengampunan-Nya dan amal yang diterima dan semoga tahun yang mendatang menjadi tahun yang baik dan dijauhkan dari gangguan setan.
Tradisi semacam ini jelas tidak kita temukan di dalam Islam sebagai tuntunan khusus dari Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karenanya, tak ayal jika setiap penghujung tahun hijriah masyarakat kita diresahkan oleh pernyataan para ustaz Salafi-Wahabi yang membidahkan tradisi semacam ini.
Syekh Syahatah Shaqr, ulama Wahabi yang cukup masyhur di Timur Tengah mengarang kitab dengan judul Ra’sus-Sanah Hal Nahtafil, sebuah kitab yang membidahkan berdoa di awal dan akhir tahun. Beliau menulis:
وَقَدِ اخْتَرَعَ بَعْضُ الْمُبْتَدِعَةِ دُعَاءً لِلَيْلَتَيْ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ السَّنَةِ وَآخِرِهاَ، وَصَارَ الْعَامَّةُ فِيْ بَعْضِ الْبُلْدَانِ الْإِسْلاَمِيَّةِ يَرُدُّوْنَهُ مَعَ أَئِمَّتِهِمْ فِيْ بَعْضِ الْمَسَاجِدِ، وَهَذَا الدُّعَاءُ لَمْ يُؤَثَّرْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ عَنْ أَصْحَابِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلاَ عَنِ التَّابِعِيْنَ، وَلَمْ يُرْوَ فِيْ مُسْنَدٍ مِنَ الْمَسَانِيْدِ. وَلاَ يَخْفَى عَلَى طَالِبِ الْعِلْمِ أَنَّ الدُّعَاءَ عِبَادَةٌ، وَالْعِبَادَاتِ تَوْقِيْفِيَّةٌ، وَهَذاَ الدُّعَاءُ لَمْ يَرِدْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، وَلَمْ يُذْكَرْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحاَبَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
Sebagian ahli bidah membuat bidah doa malam awal dan akhir tahun, dan masyarakat di sebagian negara melakukannya bersama para tokoh mereka di masjid-masjid. Doa ini tidak diajarkan oleh Nabi, para sahabat dan tabiin dan tidak pula diriwayatkan dalam kitab-kitab musnad. Tentu ini jelas bagi para penuntut ilmu bahwa doa adalah ibadah, dan ibadah adalah taufiqiyah. Sedangkan doa ini tidak datang dari Nabi dan tidak pula para sahabat. (Ra’sus-Sanah Hal Nahtafil, I/76)
Syekh Sa`ad al-Khatslān, ketua Majlis Idārah al-Jam`iyyah al-Fiqhiyyah di Arab Saudi, mengatakan dalam fatwanya:
لَيْسَ لِذَلِكَ أَصْلٌ فِيْ الْإِسْلاَمِ، وَيُعَدُّ مِنً الْبِدَعِ الْإِضَافِيَّةِ فَلاَ يَجُوْزُ تَخْصِيْصُ أَيِّ عِبَادَةٍ مِنَ الْعِبَادَاتِ بِوَقْتٍ مُعَيَّنٍ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ، بِالتَّالِيْ تَخْصِيْصُ مِثْلِ هَذِهْ الْعِبَادَاتِ فِيْ نِهَايَةِ الْعَامِ الْهِجْرِيِّ لاَ أَصْلَ لَهُ.
Ibadah semacam itu tidak ada dasarnya dalam Islam dan termasuk bidah idhafiyah. Maka tidak boleh mengkhususkan ibadah di waktu tertentu kecuali berdasarkan dalil syar’i. Dengan demikian mengkhususkan ibadah semacam ini di akhir tahun hijriah tidak ada dasarnya (bidah).
Benarkah berdoa di awal tahun dan akhir tahun adalah bidah, sebagaimana tuduhan Salafi-Wahabi?
Pertama, berdoa dengan doa yang tidak diajarkan oleh Rasulullah adalah hal yang mubah dilakukan. Bahkan hal ini tetap masuk dalam keumuman anjuran berdoa dalam nas al-Qur’an dan hadis. Seperti firman Allah berikut:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ اِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina“. (QS. Al-Ghafir: 60)
Kedua, pernyataan bahwa doa adalah ibadah taufiqiyah yang harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah adalah tidak seutuhnya benar. Terbukti banyak ulama salaf yang membuat doa sendiri yang tidak pernah ditemukan di dalam hadis marfu’ Rasulullah. Bahkan doa buatan tersebut dibaca di dalam shalat yang merupakan ibadah tauqifiyah. Berikut di antara dalil-dalilnya:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ : كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ : فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ ، قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ ، قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : أَنَا ، قَالَ : رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ.
Dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zaraki beliau berkata, “Suatu hari kita shalat dibelakang Nabi ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau berkata ‘samiallahu lima hamidahu’ kemudian seorang laki-laki berkata di belakangnya ‘Rabbana lakal hamdu hamdan kasiran tayyiban mubarakan fihi’ ketika selesai shalat, Nabi bertanya ‘siapa yang berkata?’ Seorang menjawab ‘saya’. Rasulullah bersabda, ‘Aku melihat tiga puluh lebih malaikat berebut untuk menulisnya terlebih dahulu’.” (HR. al-Bukhari: 799)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ketika mengomentari hadis di atas, beliau berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إِحْدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ
Hadis ini dijadikan dalil diperbolehkannya membuat zikir dalam shalat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah selama zikir tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Rasulullah. (Fathul Bari II/28)
Menambah bacaan doa dalam shalat yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah juga dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Laits berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ يَقُوْلُ: إِنِّيْ لَأَدْعُوْ اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ :اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ فَمَا كَانَ مِنْهُمْ أَتْبَعُ لِحَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ.
Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, “Sungguh aku telah mendoakan as-Syafi’i dalam salatku selama 40 tahun. Aku berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku, kedua orangtuaku dan Muhammad bin Idris as-Syafi’I’. Maka tidak ada dari mereka (ulama) yang lebih konsisten mengikuti Hadis Rasulullah dari dia (as-Syafi’i).” (Manaqib as-Syafi’i, II/254)
Jika membaca doa yang tidak ma’tsur dari Rasulullah dalam shalat saja diperbolehkan, lebih-lebih di luar shalat, tentu diperbolehkan, seperti doa Sa’id bin Musayyib berikut:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ مَلِيكٌ مُقْتَدِرٌ مَا تَشَاءُ مِنْ أَمْرٍ يَكُونُ، ثُمَّ سَلْ مَا بَدَا لَكَ.
Sa’id bin Musayyib berkata:
فَمَا سَأَلْتُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا اسْتَجَابَ لِي.
Tidaklah aku meminta kepada Allah sesuatu (dengan doa ini) kecuali Allah mengijabahnya. (Musnad Ibnu Abi Syaibah: 29320)
Dengan demikian membuat bacaan doa yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah adalah boleh, sebagaimana doa awal tahun dan akhir tahun.
Ketiga, pernyataan bahwa mengkhususkan doa atau ibadah di waktu tertentu adalah bidah adalah salah satu kaedah sesat Salafi-Wahabi. Kaedah tersebut terbantahkan dengan hadis berikut:
Hadis Pertama
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari: 1193)
Mengomentari hadis ini, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
وَفِي هَذَا اَلْحَدِيثِ عَلَى اِخْتِلَاف طُرُقِهِ دَلَالَة عَلَى جَوَاز تَخْصِيص بَعْضِ اَلْأَيَّامِ بِبَعْضِ اَلْأَعْمَالِ اَلصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ.
Hadis ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, menjadi dalil atas diperbolehkannya mengkhususkan hari-hari tertentu dengan amalan khusus dan melakukannya secara rutin. (Fathul Bari, IV/194)
Hadis Kedua
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ: عِنْدَ صَلاَةِ الفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الجَنَّةِ. قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي: أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا، فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Dari Abu Hurairah RA, beliau meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudlu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya”. (HR. al-Bukhari: 1149)
Mengomentari hadis ini, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
وَيُسْتَفَاد مِنْهُ جَوَازُ الِاجْتِهَادِ فِي تَوْقِيت الْعِبَادَةِ ، لِأَنَّ بِلَالًا تَوَصَّلَ إِلَى مَا ذَكَرْنَا بِالِاسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari hadis di atas dapat diampil kesimpulan akan bolehnya melakukan ijtihad dalam menentukan waktu beribadah, sebab sahabat Bilal sampai pada derajat yang disebutkan tadi, berkat istinbath, dan hal itu dibenarkan oleh Nabi. (Fathul Bari, IV/139)
Berdasarkan dua hadis tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa mengkhususkan ibadah dan doa di waktu tertentu dan rutin melakukannya setiap hari, bulan ataupun tahun—sebagaimana doa awal dan akhir tahun hijriah—adalah boleh dan tetap masuk dalam keumuman anjuran berdoa. Wallahu A’lam.
Bahrul Widad | Annajahsidogiri.id