Sejak kecil, kita diajari menyembah Allah: dengan segala ibadah yang tertata dalam agama. Namun, ibadah, kan, hanya ritual saja? Obyek yang disembah siapa? Iya, memang Allah, tetapi “apanya” Allah yang kita sembah?
Memang tidak ada yang bertanya demikian, melainkan hati kecil saya lagi iseng bertanya kepada diri saya sendiri. Setelah berpikir sejenak, saya coba jawab dengan runtut. Semoga uraian berikut, bermanfaat!
Konon, Imam al-Barawi sempat menjelaskan. Menurutnya, bila yang disembah sifat Allah, ya, jelas kafir. Lalu, bila yang disembah sifat dan zat Allah, ya, juga kafir. Lantas bagaimana? Simak dulu dawuh beliau berikut ini:
والمعبود هو المسمى لا الاسم فمن عبد الصفات كفر، او الصفات والذات كفر ايضا كما قاله البراوى
“Yang disembah itu ialah yang dinamai (zat Allah), bukan nama (Allah). Barang siapa yang menyembah sifat Allah, orang itu kafir. Atau menyembah sifat sekaligus zat, kafir juga. Begitulah penjelasan Imam al-Barawi”.
Baca: Mengkritik Pemikiran Parmenides Tentang Alam
Memang dalam kutipan tersebut, tidak mengungkap secara langsung bahwa zat Allah yang wajib disembah. Di sana Imam al-Barawi menggunakan kata al-musammâ (yang dinamai). Jelas, kan, yang dinamai itu zat dari nama itu sendiri. Dalam hal ini: zat Allah.
Dari sana, bila ulama mendefinisikan kata Allah, muncullah sebuah definisi yang begitu menarik; sebuah nama dari zat yang wajib wujud yang berhak disembah. Bila mengutip perkataan Imam al-Bujairami, muncullah takrif demikian:
وَاَللَّهُ عَلَمٌ عَلَى الذَّاتِ الْوَاجِبِ الْوُجُودِ الْمُسْتَحِقِّ لِجَمِيعِ الْمَحَامِدِ
“Allah itu sebuah nama dari zat yang pasti ada yang berhak atas segala pujian.”
Dari keterangan yang sudah lalu, mungkin sudah jelas, bahwa yang disembah itu hanyalah zat Allah. Tidak lebih. Tidak perlu ditambah nama, sifat, apalagi ditambah ciptaan-Nya. Tidak perlu. Bahkan bisa kafir. Na’ûdzubillâh!
Muhammad ibnu Romli | annajahsidogiri.id