Ada sejarah penting seputar kurban. Kala Nabi Ibrahim bahagia, lantaran Allah menganugerahkan anak, malah beliau bermimpi menyembelihnya. Putra beliau bernama Nabi Ismail. Allah mengabadikan kisah tersebut dalam surah ash-Shaffât, serta menyanjung ketaatan Nabi Ibrahim kepada ketetapan Allah, dengan firman-Nya:
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
(QS. ash-Shaffât: 105-107)
“Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. ash-Shâffât: 105-107)
Mimpi Para Nabi itu Wahyu yang Nyata
Nabi Ibrahim membenarkan mimpinya, karena mimpi seorang nabi merupakan wahyu. Apapun yang terjadi dalam mimpi nabi, itu pasti sebuah kebenaran. Imam ats-Tsa’labi mengutip pandangan Ibnul-‘Arabi seputar mimpi para nabi. Dalam tafsirnya (3/287) tertera:
قَالَ اِبْنَ العَرَبِيِّ فِي «أَحْكَامِهِ» : وَاعْلَمْ أَنّ رُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ وَحْيٌ فَمَا أُلْقِيَ إلَيْهِمْ ، ونَفَثَ بهِ المَلَكُ في رُوعِهِمْ ، وضَرَبَ المثَلَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَهُوَ حَقٌّ؛
“Ibnul-‘Arabi berkata dalam kitab al-Ahkâm: “Ketahuilah, bahwa mimpi yang para nabi merupakan wahyu. Apapun yang diilhamkan pada mereka, atau diisyaratkan pada mereka, atau digambarkan suatu permisalan pada mereka, merupakan sesuatu yang benar.”
Dalam sebuah hadis, Sayidah Aisyah bercerita:
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ
“Awal turun wahyu kepada Rasulullah ialah melalui dengan mimpi yang benar.” (HR. Al-Bukhari)
Syariat Tidak Melalui Mimpi
Akan tetapi, urusan syariat, metode pengiriman wahyu kepada nabi hanyalah ketika terjaga; berhadapan langsung dengan Malaikat Jibril, bukan melalui mimpi. Berdasarkan pendapat Imam Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya (12/140):
وكان أول ما بُدىء به رسول الله صلى الله عليه وسلم الرؤيا الصادقة ولكن الشريعة لم يوح بها إليه إلا في اليقظة مع رؤية جبريل دون رؤيا المنام ، وإنما كانت الرؤيا وحياً له في غير التشريع
“Bermulanya wahyu adalah mimpi yang benar, hanya saja syariat tidak melalui wahyu kecuali dalam keadaan terjaga, serta melihat Malaikat Jibril, bukan melalui mimpi. Meski ada wahyu melalui mimpi, itu sebatas wahyu yang bukan berupa syariat.”
Akan tetapi, bukan berarti mimpi selain nabi bisa menjadi landasan syariat, sebagaimana dawuh Ibnu Hajar dalam kitab Mirqâtul–Mafâtîh (III/98), karya Syekh Mulla Ali al-Qari.
وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ إِذْ رُؤْيَةُ غَيْرِ الأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ لَا يبتني عَلَيْهَا حُكْمٌ شَرْعِيٌّ بَلْ بِاْلإِجْتِهَادِ أَو الْوَحْيِ
“Ibnu Hajar berkata: mimpi yang selain para nabi tidak bisa dijadikan dasar hukum syariat, melainkan harus dengan ijtihad atau wahyu.”
Nabi sosok istimewa, yang hatinya mustahil lalai kepada Allah I, meski dalam keadaan tertidur. Hal ini diungkapkan oleh Imam as-Sanusi dalam Ummul-Barâhîn-nya (hlm. 186). Selaras dengan itu, Imam al-Bushiri menuliskan syair indah seputar tidur Nabi Muhammad r.
ﻻَ ﺗُﻨْﻜِﺮُ ﺍﻟْﻮَﺣْﻲَ ﻣِﻦْ ﺭﺅْﻳﺎَهُ ﺇﻥَّ ﻟَﻪُ * ﻗَﻠْﺒﺎً إذَا ﻧَﺎﻣَﺖِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻨَﺎﻥِ ﻟَﻢْ ﻳَﻨَـﻢِ
“Janganlah kau ingkari wahyu yang didapat dalam mimpi, karena beliau memiliki hati yang tak pernah tertidur, meski kedua matanya tertidur.”
Jadi, mustahil bagi para rasul; segala prilaku yang dapat berpotensi menurunkan derajat kenabian. Juga, termasuk yang menurunkan derajat, ialah hatinya tertidur; tidak ingat kepada Allah. Dengan begitu, segala sesuatu yang terjadi dalam mimpi para nabi, ialah benar. Wallâhu a’lam.
Muhammad ibnu Romli|Annajahsidogiri.id