Orang-orang di zaman Jahiliah punya kepercayaan aneh. Saat mereka ingin bepergian karena memiliki hajat, jika mereka melihat burung terbang ke kanan, maka mereka akan melanjutkan perjalanan. Sebaliknya, jika mereka melihat burung terbang ke kiri, mereka tidak akan melanjutkan perjalanan, karena menganggap hal ini sebagai tanda terjadi-nya hal yang tidak dinginkan. Mereka menjadikan arah ke mana burung terbang sebagai patokan apakah mereka bisa keluar rumah atau tidak. Imam Ibnu Hajar menganalisis, mitos-mitos (semua kata “mitos” dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanda keburukan) seperti yang dipercayai oleh orang Jahiliah tadi, juga menimpa banyak Muslim diberbagai belahan dunia (Fathul-Bâri XVI/275). Di sebagian Pulau Madura (dan di tempat lain mungkin), ada kepercayaan bahwa nasi yang dimasak di rumah orang yang meninggal dalam rangka selamatan untuk si mayit (dalam bentuk apapun) tidak boleh dimakan oleh beberapa orang. Diantaranya, orang yang sedang hamil, patah tulang, dan orang yang memiliki penyakit tertentu. Menurut kepercayaan, akan terjadi hal buruk jika nasi itu dimakan oleh orang-orang tadi. Mitos Nasi Orang Mati itu dikenal dengan istilah nase’en oreng mateh (Madura, Red).
Hukum Mitos
Memang dalam banyak kesempatan mitos, seringkali terjadi. Ketika si-A mempercayai mitos B kemudian melanggarnya, maka pada realitanya dia akan benar-benar tertimpa apa yang dia percayai. Hal ini terjadi, meurut para ulama, sebagai balasan karena dia berprasangka buruk kepada Allah SWT, sedang Allah SWT akan menakdirkan apa yang menjadi prasangka hamba-Nya, baik atau buruk.
Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ…
“Aku berdasarkan anggapan hamba ku…”
Allah SWT akan akan menakdirkan sekaligus melakukan muamalah pada hamba-Nya sesuai dengan apa yang menjadi prasangka hamba-Nya, baik prasangka itu buruk atau baik. Demikian keterangan Imam al-Mubarakfûri dalam Tuhfatul-Ahwadzi (VII/53).
Hubungan mitos dan akibat buruk ini akhirnya menjadi adat (hal yang berulang-ulang) yang kebanyakan memang terjadi. Disinilah ulama kemudian mengambil pemerincian hukum (Tuhfatul-Murîd hal. 61):
Baca Juga: Mitoni; Antara Adat dan Syariat
1. Jika mitos yang sudah menjadi adat diyakini pasti memberi pengaruh, maka hukumnya kafir
2. Jika akibat buruk itu diyakini akibat dari kekuatan yang diberikan oleh Allah, maka hukumnya fasik (haram)
3. Jika akibat buruk itu diyakini Allah yang mengkehendakinya, namun memercayainya hanya sebagai bentuk talazum aqli, artinya nase’en oreng mateh tadi jika tetap dimakan akan tetap menimbulkan efek negatif, maka hanya dihukumi jahil (orang yang tidak tahu)
4. Jika meyakini semuanya adalah kehendak Allah dan mitos-mitos seperti tadi hanya diyakini sebagai hukum adat, artinya naseen oreng mateh tidak memliki efek negatif walau pun dimakan oleh siapa pun, maka hukumnya tidak apa-apa
Maka dalam menghukumi mitos-mitos seperti apa pun bentuknya, tinggal melihat keyakinan perindividual orang yang memercayainya. Apakah kepercayaannya seperti yang tergambar dalam pemerincian nomor 4 dan 3, yang berarti tidak sampai hukum haram, atau seperti dalam pemerincian nomor 2, yang berarti hanya dihukumi haram tidak sampai kafir, atau seperti dalam pemerincian nomor 1, yang berarti kepercayaanya kepada mitos sudah sampai taraf mengeluarkan dia dari Islam?
Lalu Bagaimana Seharusnya?
Sebagai muslim dalam menghadapi mitos kita harus yakin bahwa (a) Hanya Allah SWT yang dapat memberi efek baik atau buruk (b) Selalu tawakal dan berbaik sangka kepada Allah SWT dalam hal apapun (c) Jika sudah terlanjur memercayai apapun bentuk mitos, dianjurkan membaca doa:
اللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada keburukan kecuali apa yang engkau takdirkan sebagai keburukan, tidak ada kebaikan kecuali apa yang engkau takdirkan sebagai sebuah kebaikan dan tiada tuhan selain engkau.” (HR. Imam Baihaqi)
Badruttamam|AnnajahSidogiri.id