Sudah maklum bahwa Allah ﷻ memiliki 20 sifat yang wajib bagi-Nya. Dari 20 sifat tersebut, para ulama membaginya menjadi empat bagian, nafsiyah, salbiyah, ma’ȃni dan ma’nāwiyyah. Pada pembahasan kali ini penulis akan mengerucutkan keterangan dalam memahami sifat ma’ani yang berjumlah tujuh; qudrat, iradah, ‘ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
Sebelum menjelaskan sifat ma’ani secara detail, perlu kiranya untuk mengetahui tentang definisi sifat ini. Dalam mendefinisikannya, Imam Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri di kitab Tuhfatul-Murȋd Syarhu Jauharatit-Tauhȋd hal. 74, menegaskan bahwa sifat ma’ani Secara etimologi adalah sifat yang dapat diterima oleh Zat Allah ﷻ, sebagaimana sifat Nafsiyah dan Salbiyah. Sedangkan secara terminologinya, sifat ma’ani adalah sifat yang menetap pada sifat-sifat yang wajib bagi Allah ﷻ secara hukum. Seperti, bila ada yang mengatakan bahwa Allah ﷻ adalah Zat yang Maha Kuasa (qadiran) maka wajib bagi Allah ﷻ memiliki sifat qudrat. Gampangnya, sifat ma’ani ini bukan ‘ainud-Dzat, tetapi sifat yang menjadi tambahan pada Zat Allah ﷻ (zaidatun ‘ala Zat).
Setelah mengetahui terkait definisi sifat ma’ani, bil-Ikhtishar, tanpa perlu menjelaskan sifat ma’ani satu persatu, penulis hanya akan mengajak para pembaca untuk membahas lebih dalam terkait makna sifat qudrat dan iradat bagi Allah ﷻ. Berikut kajian kami:
Sifat kodrat
Takrif dalam memahami isi yang terkandung dalam sifat qudrat adalah sebagaimana yang dijelaskan dengan gamblang oleh Imam Sa’ad at-Taftazani. Beliau menginterpretasikan bahwa sifat qudrat adalah sifat azali yang mempengaruhi terhadap sifat perkara yang dikuasai. Artinya, Allah ﷻ wajib bersifat Qudrat. Karena, sifat qudrat tersebut dapat mewujudkan atau meniadakan perkara mungkin yang sesuai dengan iradat Allah ﷻ (Syarhul-‘Aqaid an-Nasfiyāh hal. 106).
Senada dengan hal ini, Syekh ‘Abdil-Bar al-Ajhuri mengutip pendapat para ulama ahli kalam kontemporer yang mendefinisikan sifat qudrat sebagai sifat yang dapat mewujudkan dan dapat meniadakan sesuatu yang mungkin keberadaannya dengan meninjau pada kehendak Allah ﷻ (Fathul-Qaribil-Majid hal. 124)
Sifat iradat
Sebagaimana definisi Imam Sa’ad at-Taftazani dikutip oleh Burhanuddin Syekh Ibrahim al-Laqani dalam Hidayatul-Murid Lȋ Jauhartit-Tauhuid hal 106-107, bahwa sifat iradat adalah sifat yang digunakan sebagai penentuan. Sebab, kegunaan sifat iradat adalah untuk menentukan sebagian dari beberapa sesuatu yang berlawanan sesuai dengan kejadian. Pun demikian, mengunggulkan sesuatu yang harus dikerjakan atau ditinggalkan.
Baca Juga : Alasan Wajib Mengetahui Sifat Sifat Allah Swt
Makna di atas tentu berbeda dengan pendapat sesat yang digaungkan oleh aliran Muktazilah. Mereka menganggap bahwa sesuatu yang Allah ﷻ perintah berarti juga Ia kehendaki. Pernyataan tersebut jelas salah, karena jika melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk ditinggalkan, maka bukan termasuk iradat Allah ﷻ. Contoh, Allah ﷻ memerintahkan Abu Jahal dan Abu Lahab untuk beriman, tetapi dalam kenyataan keduanya kafir, maka hal itu terlepas dari iradat Allah ﷻ (Hidayatul-Murid Lȋ Jauhartit-Tauhid hal. 106-107).
Dalil-dalil yang menunjukkan keberadaan sifat ma’ani di atas tidak serta-merta diterima oleh berbagai lapisan aliran dalam agama Islam. Di antara firkah yang menafikan dan mengabaikan keberadaan sifat ma’ani adalah firkah Muktazilah. Firkah ini menafikan sifat Ma’ani karena kesalahpahaman dan kedangkalan pikiran mereka dengan menganggap bahwa sifat-sifat Allah ﷻ itu adalah ‘ainud-Dzat (Dzat Allah ﷻ).
Terkait hal ini tidak sedikit dari para ulama ahli kalam yang menolak mentah-mentah pendapat mereka. Termasuk dari jejeran ulama yang mengkritiknya ialah Syekh Ibrahim al-Baijuri. Beliau menyebut bahwa anggapan sifat ma’ani tidak ada, seperti yang ‘disuarakan’ oleh Muktazilah, jelas keliru (Wâdhihul-Buthlan). Sebab, tidaklah bisa dibenarkan bila Allah ﷻ sebagai Zat yang Maha Kuasa, tanpa mempunyai sifat qudrat. Juga tidak dapat diabsahkan bila Allah ﷻ berkehendak, tetapi tidak bersifat iradat (Syarhȗs-Sanȗsiyah hal. 70).
Pada intinya, dalam memahami sifat ma’ani kita tidak perlu sampai mengernyitkan dahi. Hal ini karena para ulama telah memberikan penjelasan dengan mudah untuk dimengerti, sebagaimana penjelasan di muka. Pun demikian, jangan sampai kita terjebak oleh kesesatan Muktazilah yang gagal paham dalam menjelaskan sifat-sifat Allah ﷻ, hingga kemudian mengabaikan sifat Ma’ani yang disepakati keberadaannya oleh para ulama ilmu teologi. Wallahu A’lam bish-Shawab.
Roviul Bada | Annajahsidogiri.id