Sebelum membahas sifat nafsiah, hal yang perlu diketahui adalah tentang peletakan pembahasan ini dalam ilmu kalam atau tauhid. Ulama tauhid membagi pembahasan ilmu tauhid menjadi tiga bagian; ilahiah, nubuwah, dan sam’iyah. Pembahasan tentang sifat nafsiah (wujud) ada pada bagian pertama, yaitu pembahasan ilahiyah. Pengertian ilahiyah sendiri, sebagaimana penyampaian Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri dalam kitabnya Tuhfatul Murîd ‘ala Jauharah Tauhid, yaitu
ِالمَسَائِلُ المَبْحُوْثُ فِيْهَا عَمَّا يَتَعَلَّقُ بِالِالَه
“Permasalahan-permasalahan yang di dalamnya membahas sesuatu yang berkaitan dengan tuhan.”
Setelah membaca penyampaian Syekh al-Baijuri, bisa disimpulkan bahwa ilahiah membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, baik sifat-sifat-Nya maupun kesempurnaan-Nya. Sifat Allah terbagi menjadi tiga bagian yaitu wajib, mustahil, dan jaiz. Semua sifat ini harus diketahui oleh orang mukalaf sebagaimana yang Syekh al-Baijuri menyampaikan dalam kitab Jauharah Tauhid, setiap orang mukalaf wajib secara syara mengetahui sifat wajib, jaiz, dan muhal.
Dari dua puluh sifat Allah yang wajib diketahui, hanya ada satu sifat yang tergolong sifat nafsiah, yaitu wujud. Sifat nafsiah sendiri adalah sifat yang menetap, yang mana sifat tersebut menunjukkan terhadap esensi zat, bukan suatu makna yang berbeda dari zat. Wujud pertama kali dibahas karena merupakan induk sifat lain dan inti dari agama. Menjadi inti agama, karena menghukumi sifat wajib, muhal, dan jaiz bagi Allah tidak bisa terpikirkan kecuali setelah menetapkan wujud Allah.
Mau e-book Buletin Tauiyah? Klik di sini
Pengertian sifat wujud wajib bagi Allah adalah adanya Allah itu esensial bukan karena klausa, dengan arti selain Allah tidak memengaruhi terhadap wujud Allah. Dalam membahas sifat nafsiah ini, terdapat beberapa pendapat ulama kalam sebagaimana berikut;
Pertama, pendapat imam Asy’ari mengenai sifat wujud yaitu, esensi zat (‘ainul maujud). Meninjau pendapat ini, penggolongan wujud sebagai sifat dianggap tasamuh. Dengan demikian wujud Allah itu bukan sebuah sifat, tetapi Allah itu sendiri. Kedua, pendapat ar-Razi dan mayoritas ulama tauhid bahwa sifat ini adalah keadan yang wajib bagi zat selagi menetap dan bukan karena sebuah klausa. Meninjau pendapat ini maka wujud dianggap suatu makna yang keluar dari zat. Ketiga, pendapat ashah bahwa perbedaan dari keduanya sebatas lafaz, dalam arti kedua pendapat tadi hanya sebatas penamaan yang berkesimpulan bahwa wujud Allah adalah zat Allah sendiri.
Setelah memerhatikan penjelasan tadi maka kesimpulannya Allah wujud dengan arti adanya dzati bukan karena alasan atau ilat, dan tidak menerima ketiadaan secara mutlak. Dalil rasio adanya Allah adalah adanya alam, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama mutakallimin. Penyusunan dalilnya adalah; alam itu baru, dan setiap yang baru itu pasti ada yang memperbarui, kesimpulannya adalah alam itu butuh pada yang memperbarui yaitu Allah, yang mana Allah itu kadim.
Hadziqil Fahimi | Annnajahsidogiri.id