Allah ﷻ memberitahukan kepada kita tentang kenikmatan surga yang telah tergambar dengan jelas dalam al-Qur’an sebagai rahmat bagi mereka mengerjakan amal baik. Puncak kenikmatan seorang hamba ketika berada di surga adalah melihat Zat Allah ﷻ. Segala kenikmatan dan anugerah yang Allah ﷻ berikan dalam surga, masih belum setara jika dibandingkan dengan kenikmatan bertemu Allah ﷻ. Dalam surah Yunus ayat 26, Allah ﷻ berfirman;
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنى وَزِيادَةٌ
“Bagi-bagi orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahan” (QS. Yunus [10]; 26)
Para ulama ahli tafsir sebagaimana Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki kutip dalam kitab Qul Hadzihi Sabîlî (Hlm. 39), menafsiri al-Husnâ dalam ayat tersebut dengan surga; dan Ziyâdah dengan melihat Zat Allah ﷻ.
Dalam surah al-Qiyamah ayat 22-23, Allah ﷻ juga berfirman:
وُجُوهٌ يَوْمَئذٍ نَاضِرَةٌ , إلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (Orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah [75]; 22-23)
Ayat tadi menjelaskan bahwa wajah orang beriman pada hari kiamat cerah berseri-seri karena melihat Tuhannya (Allah). Ayat tersebut sangat jelas memberikan petunjuk tentang melihat Allah ﷻ di akhirat. Kalangan Ahlusunnah wal Jamaah sepakat bahwa orang yang beriman dapat melihat Allah ﷻ kelak di akhirat (Tabsîthul-Aqâid al-Islâmiyyah Hlm. 201).
Allah ﷻ Dapat Dilihat di Dunia?
Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri dalam kitab Tuhfatul-Murîd Fî Syarhi Jauharatit-Tauhîd (Hlm. 128) menjelaskan bahwa melihat Allah ﷻ baik di dunia maupun di akhirat itu hukumnya jaiz (boleh) secara akal. Selain itu Allah ﷻ mempunyai sifat wujud dan setiap yang wujud tentu bisa untuk dilihat.
Seperti halnya ketika Nabi Musa meminta Allah ﷻ agar memperlihatkan Zat-Nya. Sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 143:
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى وَلَٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku melihat Engkau’. Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi Lihatlah bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman’.” (QS. al-A’raf [7]; 143)
Baca Juga: Allah Pasti Berbuat Baik?
Melihat ayat tersebut, tentu merupakan hal jaiz untuk melihat Allah ﷻ. Karena tidak mungkin Nabi Musa meminta sesuatu yang mustahil terjadi. Selain itu, para nabi juga terjaga dari ketidaktahuan tentang sifat-sifat Allah ﷻ. Hanya saja dalam ayat tersebut, Allah ﷻ menjawab ‘lan tarani’ kepada Nabi Musa yang berarti beliau tidak akan mampu melihat Allah ﷻ di dunia (al-I’tiqâd Alâ Madzâhibis-Salaf Ahlis-Sunnah wal Jama’ah Hlm. 60-61).
Namun, keistimewaan melihat Allah ﷻ di dunia hanya terjadi kepada Nabi Muhammad ﷺ Ketika malam isra mikraj. Tidak kepada yang lain sebagaimana diutarakan oleh Syekh Abdulbar bin Abdullah al-Ajhuri dalam kitab Fathul-Qarîb al-Majîd (Hal. 128). Wallahu A’lam
Moh. Fakhri As Shiddiqy | Annajahsidogiri.id