Berbicara tentang ‘iṣmahnya para nabi, sudah barang tentu para nabi itu maksum; terpelihara dari dosa dan kesalahan. Justru tidak irasional jika para nabi tidak memiliki sifat ‘iṣmah, karena mereka adalah panutan yang harus diikuti oleh umat, jika mereka tidak maksum, otomatis umat akan mengikuti suatu yang salah, dan ini mustahil secara akal. Akan tetapi, para pemula dalam ilmu akidah, terlebih kaum awam, sering dibuat bingung dan ragu akan kemutlakan ‘iṣmahnya para nabi, sebab ada beberapa literal naṣ yang seakan-akan mengarah pada ketidakmaksuman seorang nabi.
Dalam al-Qur’an surat Tāhā ayat 121, Allah berfirman:
فَاَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۚ وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى
Lalu mereka berdua memakannya sehingga tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. Adam telah melanggar (perintah) Tuhannya dan Bermaksiatlah Dia. (Q.S Tāha [20]: 121)
Dalam ayat di atas, lafadz (عَصَى) yang berarti “bermaksiat” disandarkan pada leluhur manusia tersebut, dan seakan-akan menjatuhkan kokohnya sifat ‘iṣmah pada Nabi Adam, yang mana kewajiban ‘iṣmah bagi para nabi itu mutlak dan tak bisa diganggu-gugat. Sehingga, seolah-olah memberi pemahaman bahwa Nabi Adam tidak maksum. Lantas, benarkah Nabi Adam tidak maksum? Dan bagaimana pendapat Ulama tentang hal tersebut?
Para ulama mengatakan, bahwa ayat di atas tidak menghilangkan sifat iṣmah dari Nabi Adam. Demikian ini karena meski secara zahir Nabi Adam bermaksiat; memakan buah khuldi yang dilarang oleh Allahﷻ. Namun, Nabi Adam tidak pernah punya niatan untuk bermaksiat kepada Allahﷻ. Nabi Adam tidak serta-merta melakukan hal itu tanpa pikir panjang, beliau berijtihad terlebih dahulu; Nabi Adam berpandangan bahwa dari banyak pohon khuldi yang ada, hanya pohon khuldi yang ditunjuk oleh Allahﷻ saja yang dilarang (هَذِهِ الشَّجَرَة) [1]. Akhirnya, Nabi Adam memakan buah khuldi dengan memilih dari pohon yang lain, tidak memakan dari pohon yang ditunjuk oleh Allahﷻ. Ternyata, semua pohon khuldi yang ada itu tercakup dalam larangan Allahﷻ. Oleh karena itu, perbuatan tersebut sejatinya bukanlah sebuah kesalahan, akan tetapi, karena tingginya kedudukan Nabi Adam, maka perbuatan itu dianggap sebuah kesalahan dan masuk dalam konteks hasanatul-abrār sayyiatul-muqorrobīn[2].
Kemudian, andai kata Nabi Adam tidak memakan buah khuldi, apakah umat manusia masih berada di surga saat ini? Hal Ini juga sering membuat kaum Muslim bertanya-tanya. Senada dengan perbincangan antara Nabi Musa dengan Nabi Adam yang diceritakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Abi Hurairah berikut:
احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلاَمِهِ، وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً؟ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلاَثًا
Suatu ketika, Adam berdebat dengan Musa. Kala itu, Musa berkata kepadanya, “Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Namun, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.” Adam menjawab pernyataannya, “Wahai Musa, Allah juga telah memilihmu dengan kalam-Nya, membuat catatan wahyu dengan tangan-Nya, tapi mengapa engkau menyalahkanku atas perkara yang telah ditetapkan-Nya untukku empat puluh tahun sebelum menciptakanku.” Saat itulah Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya, Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya, Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya. (HR. al-Bukhari no. 3407).
hadis ini menjelaskan, bahwa keluarnya Nabi Adam dari surga adalah sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Allahﷻ. Allahﷻ juga berfirman dalam al-Qur’an:
وَاِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلٰٓٮِٕكَةِ اِنِّىۡ جَاعِلٌ فِى الۡاَرۡضِ خَلِيۡفَةً ؕ قَالُوۡٓا اَتَجۡعَلُ فِيۡهَا مَنۡ يُّفۡسِدُ فِيۡهَا وَيَسۡفِكُ الدِّمَآءَۚ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَؕ قَالَ اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (Q.S al-Baqarah [2]: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan Allahﷻ menciptakan NRabi Adam adalah semata-mata untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini yang mengatur bumi dan menjalankan hukum-hukum Allah di atasnya.
kesimpulannya, Nabi Adam itu maksum dari segala perbuatan dosa, begitu juga para nabi lainnya tanpa terkecuali, dan jika ada nasyang seakan-akan menjatuhkan kewajiban ‘iṣmah dari para nabi, maka menurut para ulama, nas tersebut pasti mempunyai takwilan lain yang tidak bisa menjatuhkan sifat ‘iṣmahnya para nabi. Meskipun para Ulama silang pendapat dalam masalah ini, perbedaan itu hanya terjadi dalam segi konsep saja, tidak sampai ranah mengingkari kewajiban ‘iṣmah. Sebab para Ulama sepakat bahwa kewajiban ‘iṣmah bagi para nabi adalah harga mati yang tak boleh di tawar-tawar lagi. Wallahu ‘alam bis-showab
Muh Shobir Khoiri | AnnajahSidogiri.id
[1] Q.S Al-Baqarâh [02]: 35
[2] Tafsir Shāwī juz 1 hal.32.