Nabi adalah sosok insan kamil atau sempurna yang terjaga dan terlepas dari segala yang berakibat mengerjakan perkara dosa atau maksiat, sehingga dapat menurunkan derajatnya sebagai seorang nabi. Setiap tindak-langkahnya menjadi uswah atau panutan bagi segenap umatnya.
Tidak seperti status atau gelar pada umumnya- yang mungkin dapat diperoleh asal ada kemauan, usaha dan konsistensi yang tinggi- predikat nabi murni merupakan fadhal atau anugrah yang Allah berikan kepada hamba pilihannya. Artinya, semua ini merupakan di antara bukti betapa tingginya kedudukan seorang nabi di hadapan Tuhannya.
Para ulama sepakat bahwa kedudukan para nabi adalah yang paling tinggi daripada makhluk lain, selain malaikat. Untuk kedudukan antara para nabi dan malaikat, ulama berselisih pendapat menjadi dua kelompok; ada yang mengatakan lebih utama nabi dari malaikat, dan ada yang berpendapat sebaliknya.
Kelompok Pertama
Menurut mayoritas ulama asyairah -pendapat ini juga diamini oleh kelompok syiah-, kedudukan para nabi tetap lebih tinggi dibandingkan malaikat sekalipun(Fathul Qarib al-Majid fi Syarh Juhratut Tauhid Hlm.201). Adapun sumber pandangan kelompok ini merujuk pada surah al-Baqarah ayat 34:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
“Ketika Kami mengucapkan pada para malaikat, ‘Bersujudlah pada Nabi Adam.’ Maka mereka semua bersujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri. Ia termasuk orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 34)
Ayat tersebut dibuat argumen oleh para ulama bahwa nabi lebih mulia daripada malaikat, sehingga Allah memerintah malaikat untuk sujud pada Nabi Adam.
Kelompok Kedua
Ulama lain menyatakan bahwa malaikat lebih utama daripada nabi. Salah satunya adalah Abu Abdillah al-Halimi; salah satu ulama Fikih mazhab Syafii, sekelompok dari golongan Asyairah, dan juga Muktazilah (Hidayatul-Murid li Jauhratit-Tauhid hlm. 247). Landasan mereka adalah beberapa ayat berikut:
وَمَنْ عِنْدَه لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِه وَلَا يَسْتَحْسِرُوْنَ
“Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 19)
يُسَبِّحُوْنَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُوْنَ
“Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 19)
وَّالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ
“Dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl [16]: 49)
يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِّنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Mereka takut kepada Tuhan yang (berkuasa) di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl [16]: 50)
قُلْ لَّآ اَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِيْ خَزَاۤىِٕنُ اللّٰهِ وَلَآ اَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَآ اَقُوْلُ لَكُمْ اِنِّيْ مَلَكٌۚ
“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat.” (QS. Al-An’am [6]: 50)
Dari beberapa ayat tersebut ulama menyimpulkan bahwa malaikat lebih tinggi pangkatnya daripada nabi dengan beberapa alasan. Pertama, malaikat adalah makhluk Allah yang senantiasa mengerjakan perintah dan menjahui larangannya. Kedua, malaikat senantiasa beribadah dan bertasbih sepanjang siang dan malam. Ketiga, Perkataan Nabi Muhammad, ‘Aku bukanlah seorang malaikat yang mampu menimpakan azab atas izinnya’, seolah-olah menyiratkan tingginya kedudukan malaikat di atas nabi.
Mana yang Benar?
Keduanya tentu sama-sama bisa diikuti, karena keduanya sama-sama memiliki landasan. Hanya saja, ada beberapa cacatan terkait kelompok kedua; malaikat lebih utama dari nabi:
Memang betul malaikat tergolong makhluk Allah yang banyak memperoleh banyak kelebihan dan keistimewaan, termasuk dapat beribadah non-stop, sepanjang siang dan malam, tidak pernah absen mengerjakan perintah serta menjauhi larangan-Nya dan seterusnya. Akan tetapi, demikian itu tidak lantas berimplikasi mengangkat derajat malaikat melebihi seorang nabi. Sebab, peran atau tujuan utama dari ayat-ayat tersebut hanya sekadar melegitimasi keutamaan-keutamaan yang Allah berikan kepada malaikat. Tidak kurang, tidak lebih!
Adapun perkataan nabi yang berupa ‘Aku bukanlah seorang malaikat’. Ulama menjawab, kalimat itu diucapkan sebab saat itu orang-orang quraisy hendak meminta bukti pada Nabi Muhammad agar segera ditimpakan azab pada mereka sebagaimana yang Allah janjikan lewat penyampaiannya. Akhirnya Nabi menjawab “Aku bukanlah malaikat yang dapat langsung menimpakan azab kepada kalian dengan izin-Nya.” Artinya, dalam soal siksa-menyiksa bukanlah tugas seorang nabi, melainkan malaikatlah—atas izin Allah—yang melakukannya (Hidayatul Murid li Jauhratit-Tauhid hlm. 251).
Abd. Jalil | Annajahsidogiri.id