Khilafah adalah salah satu persoalan besar umat Islam yang tengah hangat di perbincangkan saat ini. Persoalan ini tak pernah berhenti melahirkan konflik dan perdebatan. Bahkan, sekelas al-Imam asy-Syahrastani menyatakan polemik terbesar umat Islam itu bermula dari perdebatan sistem politik kepemimpinan, yang tidak jarang berujung konflik; angkat senjata hingga pertumpahan darah.
وَ اَعْظَمُ خِلاَفٍ بَيْنَ الْاُمَّةِ خِلاَفُ الْاِمَامَةِ اِذْ مَا سُلَّ سَيْفٌ فِيْ الاِسْلاَمِ عَلَى قَاعِدَةٍ دِيْنِيَّةٍ مِثْلَ مَا سُلَّ عَلَى الْاِمَامَةِ فِيْ كُلِّ زَمَانٍ
“Perselisihan terbesar di antara umat Islam adalah persolan kepemimpinan. Sebab, dalam sejarah tidak pernah pedang dihunus demi perdebatan agama, layaknya hal itu terjadi demi memperdebatkan kepemimpinan dalam setiap masa.”[1]
Istilah khilafah bermula dari tradisi pemerintahan Islam di era awal, pasca wafat Nabi Muhammmad yang berlanjut sampai akhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Sebagian ulama menyatakan sampai kepemimpinan Hasan bin Ali. Masa khilafah telah disampaikan oleh Nabi dalam sabdanya:
وَالْخِلاَفَةُ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً وَ سَائِرُهُمْ مُلُوْكٌ وَالْخُلَفَأُ وَالْمُلُوْكُ اِثْنَى عَشَرَ
“Masa khilafah akan berlangsung selama tiga puluh tahun, selanjutnya akan digantikan oleh kerajaan. Khalifah dan raja berjumlah dua belas.” (HR.Ibnu Majah)
Adapun khilafah secara bahasa berasal dari kata khalafa yang berarti menggantikan. Sedangkan secara istilah, Ibnu Khaldun mendefinisikannya sebagai berikut:
وَهِيَ حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ
“Sistem pemerintahan yang membawa seluruh manusia pada hukum syariat.”[2]
حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى الْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ فِيْ اَحْوَالِ دُنْيَاهُمْ وَ آخِرَتِهِمْ
“Sistem pemerintahan yang membawa seluruh manusia pada hukum agama dalam segala aktifitas dunia akhirat.”[3]
Selaras dengan Ibnu Khaldun, al-Imam at-Taftazani, sebagaimana dikutip oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili di dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, mengartikan khilafah sebagai berikut:
وَقَالَ السَّعْدُ التَّفْتَازَانِيُّ فِي الْمَقَاصِدِ: الْإِمَامَةُ: هِيَ رِيَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي أَمْرِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلَافَةً عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Al-Imam as-Sa‘d berkata di dalam kitab al-Maqâshid: ‘Imamah (khilafah) adalah kemimpinan umum dalam ranah agama dan dunia sebagai pengganti Nabi’.”[4]
Melihat definisi di atas bisa diambil kesimpulan bahwa khilafah adalah sebuah sistem, di mana agama akan dijadikan sebagai titik pijakan hukum undang-undang negara. Agama memiliki peran dominan dalam laju gerak suatu negara, sehingga negara akan menjadi basis sebuah agama yang paling dominan di dalamnya.
Hal ini didukung legitimasi dari Al-Qur’an, sebagaimana difirmankan oleh Allah:
وَ اِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِيْ الاَرْضِ خَلِيْفَةً
“(Ingatlah) ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat ‘sesungguhnya aku (hendak) menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. al-Baqarah [02]: 30)
Ketika Allah telah menjanjikan untuk menurunkan seseorang khalifah di bumi, maka di situlah kewajiban bagi umat Islam menegakkan khilafah, sebagai mana pendapat al-Imam al-Qurthubi yang menafsiri ayat di atas sebagai kewajiban menegakkan khilafah.[5]
Kewajiban ini juga di dukung tafsiran ayat Al-Qur’an dalam kitab Jundullâh:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْنَ فِيْ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اِقَامَةُ دَوْلَةِ اللهِ فِيْ كُلِّ قَطْرٍ وَهِيَ الفَرِيْضَةُ الَتِىْ يَغْفِلُ عَنْهَا الْكَثِيْرُ مِنْ اَبْنَاءِ الْاَقْطَارِ الْاِسْلاَمِيَّةِ فِيْ اَقْطَارِهِمْ لَقَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ اِقَامَةَ اَحْكَامِهِ -اِلَى اَنْ قَالَ- وَهِيَ فِيْ عَصْرِنَا لَيْسَتْ فَرْضَ كِفَايَةٍ كَمَا يَخْلُوْ لِبَعْضِ النَّاسِ اَنْ يُصَوِّرُوْهَا بَلْ هِيَ فَرْضُ عَيْنٍ.
“Maka demi tuhanmu mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan di dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. Menegakkan hukum allah di seluruh penjuru merupakan kewajiban yang dialaikan oleh mayoritas penduduk agama Islam, Allah telah mewajibkan pada orang yang beriman untuk menegakkan hukumnya. Saat ini hal tersebeut bukan fardu kifayah lagi justru berhukum fardu ain.”
Sebenarnya hukum fardu ain di atas meninjau keadaan dan kenyataan, karena hukum asalnya adalah fardu kifayah yang kewajibannya akan gugur jika ada satu saja yang mengerjakannya. Lalu, dalam kondisi seperti ini, harus ada dua golongan yang bertindak untuk menegakkan khilafah. Pertama, Ahlul-Ikhtiyâr. Kedua, Ahlul-Imamâh. Tapi, kenyataan dan keadaan telah menyaksikan bahwa kedua golongan ini tidak melakukan tugasnya. Maka dari itu, kewajiban menegakan khilafah dibebankan kepada seluruh ummat Muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal ini tertera dalam kitab al-Imâmah al-‘Udzmâ ‘Inda Ahlissunnah wal-Jamâ‘ah:
وَالْيَوْمَ وَقَدْ تَقَاعَسَتَا هَاتَانِ الطَّائِفَتَيْنِ عَنِ القِيَامِ بِهَذَا الْوَاجِبِ اَوْ حِيْلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُوْنَ فَتَعَيَّنَ عَلَى كُلٍّ مُسْلِمٍ –كُلِّ بِحَسَبِ اسْتِطَاعَتِهِ الْعَمَلَ لِاِقَامَةِ الْخِلاَفَةِ الْاِسْلاَمِيَّةِ
“Sekarang dua golongan di atas telah mengundurkan diri dari tugasnya, atau mereka menghindar dari tugasnya karena mementingkan syahwatnya. Sehingga, kewajiban ini harus dibebankan kepada seluruh orang muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk menegakkan khilafah Islamiyah.”
Imam asy-Syathibi menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban menegakkan khilafah bagi seluruh umat muslim, beliau berkata, “Menegakkan kewajiban khilafah adalah menegakkan kemaslahatan umum. Semua orang dituntut secara global. Ada yang mampu secara langsung seperti orang yang layak sebagai khalifah. Sedangkan yang lain, walaupun tidak mampu menegakkan khilafah secara langsung, setidaknya dia mampu untuk menegakkan atau menyuarakan orang yang mampu untuk menegakkan khilafah. Orang yang mampu harus menegakkan khilafah, sementara bagi orang yang tidak mampu harus mengangkat orang yang mampu dan mendorongnya untuk menegakkan khilafah”. Selanjutnya, beliau memberikan kesimpulan dan sebuah konsep:
فَالْقَادِرُ اِذَنْ مَطْلُوْبٌ بِاِقَامَةِ الْفَرْضِ وَغَيْرُ الْقَادِرِمَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ اِذْ لاَ يَتَوَصَّلُ الْقَادِرُ اِلَى الْقِيَامِ اِلاَّ بِالْاِقَامَةِ مِنْ بَابِ مَا لاَ يُتِمُّ الْوَاجِبُ اَلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Jadi, orang yang mampu harus menegakkan kefarduan dan yang tidak mampu harus menegakkan orang yang mampu. Karena, orang yang mempunyai otoritas untuk menegakkan kewajiban tidak akan mampu kecuali dilantik menjadi pemimpin. Hal ini masuk pada kaidah, ‘Sesuatu yang menjadi penyempurna suatu kewajiban, maka sesuatu tersebut juga menjadi wajib’.”
Tapi, meski kenyataanya demikian, bukan berarti seseorang harus melawan atau memberontak, lebih-lebih melengserkan pemimpin yang tidak menggunakan sistem khilafah, karena mau tidak mau pemimpin yang telah terpilih secara sah harus ditaati dan tidak boleh dilengserkan selagi tidak memerintah untuk melakukan kekufuran.
Selanjutnya, Syekh Nuh Ali Salman dalam kitab al-Mukhtashar al-Mufîd ‘alâ Syarhi Jauharatit-Tauhîd berkata: “Apabila suatu masa tidak ada pemimpin maka dosanya akan dibebankan pada orang yang mampu menegakkan khilafah lalu ia tidak melakukannya dan pada orang yang rida pada hal tersebut dan tidak ada upaya sedikit pun sesuai kadar kemampuannya untuk menegakkan khilafah.”
Kesimpulannya, bagaimanapun mendirikkan khilafah untuk menegakkan syariat Agama itu wajib, karena hanya sistem khilafah yang dapat menegakkan hukum Allah. Tapi, apalah daya ketika negara tidak menggunakan sistem khilafah, kita hanya bisa berharap dan berusaha semampu kita agar khilafah bisa ditegakkan kembali.
Semester II ACS | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Imam asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 1/22.
[2] Ibnu Khaldun, Târîkh Ibni Khaldun, 1/255.
[3] Ibid, 1/238.
[4] Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 8/6361.
[5] Al-Imam al-Qurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâmil-Qur’ân, 1/264.