Sempat viral pernyataan seorang tokoh terkait pengarang Maulid ad-Daiba’i, yakni Imam Wajihuddin Abdurahman bin Muhammad ad-Daiba’i, sebagai tokoh Syiah. Ia menampilkan beberapa alasan untuk menyatakan pengarang ad-Daiba’i tersebut Syiah. Seperti kasidah-kasidah yang isinya sama sekali tidak menyebut shahabat kecuali Sayidina Ali, pujian-pujian yang terlalu mengagungkan ahlu bait dan lain-lain. Apakah pernyataan yang terlontar dari tokoh tersebut benar? Berikut adalah wawancara Ghazali dari Buletin Tauiyah kepada Habib Ridho BSA, Pembina Majelis At-Taufiqi, di kediamannya.
Seorang tokoh menyatakan Imam ad-Daiba’i adalah Syiah dengan alasan karena tidak ada penyebutan shahabat selain Sayidina Ali dalam kasidah maulid karangannya. Bagaimana tanggapan Habib?
Maksud kasidah tersebut adalah mitslu Zainil-‘Abidina Ali * wabnihil-Baqiri khoiri wali. Ada satu hal yang jarang diketahui mengenai kasidah ini, yakni kasidah ini bukanlah kasidah Imam ad-Daiba’i, melainkan kasidah Imam al-Haddad yang juga tercantun pada majmuk ad-Daiba’i.
Namun meski begitu, bukan berarti Imam al-Haddad Syiah. Bisa jadi karena saking cintanya beliau pada ahlu bait sehingga bait-bait kasidahnya hanya berisi pujian pada ahlul bait. Buktinya kalau beliau bukan Syiah adalah cerita awal mula pengarangan Ratibul-Haddad milik Imam al-Haddad sendiri. Jadi dulu banyak orang mengeluh pada Imam al-Haddad sebab masuknya paham Syiah Zaidiah ke Hadramaut. Akhirnya beliau mengarang Ratibul-Haddad sebagai benteng ruhaniyah. Sebab, jika ruhaniyah-nya sudah terbentengi maka aman keseluruhannya. Kalau melihat dari kejadian tersebut, masa Imam al-Haddad adalah Syiah?
Anta Syamsun Anta Badrun * Anta Nurun Fauqa Nurin. Bait dalam Maulid ad-Daiba’i tersebut oleh sebagian orang dipahami bahwa ‘cahaya di atas cahaya’ adalah Nabi Muhammad di atas kemuliaan Allah.
Pemahaman demikian itu sangat tidak benar. Bait dalam Maulid ad-Daiba’i tersebut sebenarnya hanyalah salah satu pujian biasa pada Nabi. Karena dalam memuji Nabi itu tidak ada batasnya. Makanya sampai ada sebuah dawuh ulama yang bunyinya begini, “Al-ghuluw fi madhihi wajibun”. Yakni, memuji Nabi secara berlebihan adalah wajib. Karena tidak ada pujian makhluk pada Nabi yang melebihi pujian Allah pada Nabi. Malah Allah lah yang pertama kali memuji Nabi setinggi-tingginya, “Wa innaka la’ala khuluqin ‘adzim”.
Apakah ada batasan tersendiri dalam mencintai Nabi?
Kalau batasan mencintai Nabi jelas tidak ada, bagaimana pun cara mengaplikasikan cinta itu. Makanya kalau ulama-ulama dulu dalam mengekspresikan cinta berbeda-beda. Malah ada yang sampai joget-joget, tidak masalah itu. Asalkan jogetnya memang karena tidak kuat menahan cinta yang mendalam sehingga terlepaslah kesadaran mereka. Kalau joget-jogetnya karena iringan koplo yang banyak terjadi pada majelis-majelis sekarang, itu beda lagi. Perlu ada pembenahan!
Pesan Habib terhadap orang-orang yang hendak mensyiahkan Imam ad-Daiba’i?
Alangkah baiknya kita pelajari dululah asal-usulnya suatu permasalahan sebelum kita gampang memvonis hal tersebut adalah salah. Apalagi kalau kita mau menilai orang yang lebih alim seperti pengarang Maulid ad-Daiba’i itu, harus berhati-hati. Siapa kita? Jadi jangan sampai sembarangan menyalahkan orang yang derajatnya lebih tinggi dari kita. Lah, kita menyalahkan orang yang sepangkat dengan kita, kalau sampai salah saja bisa ribut. Apalagi orang yang lebih tinggi derajatnya daripada kita.
Tapi sudah biasa jika ada seorang dai yang salah dalam memahami permasalahan. Selagi ia mau mengkaji lagi dan mengakui kesalahaannya, itu baik. Karena memang biasa pencari ilmu salah dalam memahami suatu permasalahan.
Ghazali | Annajahsidogiri.id