Asslamualaikum, Ustaz! Nama saya Miftahus Surur, dari kota Bondowoso. Saya ingin bertanya: sebenarnya kenapa kita boleh berbeda dalam persoalan furū‘ (fiqih) namun sebaliknya tidak boleh berbeda dalam persoalan ushūl (aqidah). Terima kasih.
Miftahus Surur, Bondowoso
Wa alaikum salam. Alasan kenapa kita boleh berbeda dalam persoalan furū‘ (fiqih) adalah karena hukum-hukum cabang fiqih didasarkan pada dalil atau nash yang zhannī, yang bisa mengandung beberapa kemungkinan makna, penafsiran, atau pemahaman.
Baca Juga: Mispersepsi Hubungan Fikih dan Radikalisme
Nah, nash-nash yang zhannī ini merupakan medan ijtihad para ulama, di mana dengan perbedaan referensi, kedalaman, pemahaman, dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, sudah pasti akan menghasilkan kesimpulan hukum-hukum fiqih yang berbeda-beda pula.
Namun karena para ulama mujtahidīn itu sudah berijtihad dengan penuh tanggung jawab ilmiah, maka hasil dari ijtihad mereka yang berbeda-beda itu sama-sama diakui dalam syariat Islam, sehingga kita dipersilakan untuk taklid atau mengikuti pada salah satunya.
Contoh: ketika para mujtahidīn berbeda dalam memahami kata “qurū’” dalam al-Quran. Sebab kata itu dalālah-nya zhannī, tidak qath‘ī, karena sebelum al-Quran turun, masyarakat Arab memang sudah berbeda-beda dalam memaknai atau memaksudkan kata qurū’ itu; sebagian ada yang memaknainya sebagai “haid”, dan sebagian yang lain memaksudkannya sebagai “suci”.
Akhirnya, sebagai konsekuensi dari hal itu, hasil ijtihad para ulama pun menjadi berbeda-beda, disebabkan perbedaan dalil, penalaran, dan pendekatan yang mereka gunakan. Perbedaan hasil ijtihad itu dengan demikian sama-sama mungkin benar, dan karena itu kita boleh mengikuti salah satunya.
Nah, hal ini berbeda dengan persoalan di dalam ushūl (aqidah) yang memang menutup ruang terjadinya perbedaan, disebabkan pokok-pokok akidah itu didasarkan pada dalil atau nash yang qath‘ī, yang hanya memiliki satu makna, penafsiran dan pemahaman, sehingga tidak membuka peluang adanya makna, penafsiran, atau pemahaman lain yang berbeda-beda.
Karena itu, nash-nash qath‘ī bukan merupakan wilayah ijtihad para ulama, sebab makna dari nash-nash qath‘ī itu sudah sangat jelas dan terang benderang. Konsekwensinya, dalam persoalan pokok akidah juga tidak boleh berbeda-beda, harus seragam, karena semua ulama pendapatnya adalah sama. Adapun jika ada orang yang berpendapat nyeleneh dalam urusan pokok akidah, maka bisa dipastikan itu sesat, atau bahkan bisa sampai kafir wal-‘iyādzu billāh.
Contohnya: dalam al-Quran surah al-Ikhlash ditegaskan bahwa Allah itu “Ahad”. Nah, kata “Ahad” ini maknanya qath‘ī, tidak beragam, yaitu “Satu” atau “Esa”. Karena itu, sudah tidak mungkin dimunculkan arti, pemahaman, atau penafsiran lain terhadap kata “Ahad” itu. Konsekwensinya, mereka yang memahami kata itu secara berbeda jelas sesat, dan bahkan kafir.
Demikian jawaban yang bisa kami berikan, semoga bermanfaat.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri