Imam Fakhrudin ar-Razi dalam Tafsir Mafatihil-Ghaib juz 9, hlm. 56, ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 58-59 memberi penjelasan cukup detail tentang kejahilan orang Arab Jahiliah:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُۥ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
يَتَوَٰرَىٰ مِنَ ٱلْقَوْمِ مِن سُوٓءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓ أَيُمْسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُۥ فِى ٱلتُّرَابِ أَلَا سَآءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Ketika ada tanda kelahiran, orang Arab Jahiliah akan menghilang dari keramaian. Bersembunyi dari orang-orang. Mereka akan melihat terlebih dahulu jenis kelamin bayi itu. Jika laki-laki, mereka akan senang dan berbangga. Namun, jika yang lahir adalah perempuan, mereka akan bersedih sembari berpikir, “Apa yang harus saya lakukan pada anak ini?” Hanya ada dua pilihan; membiarkan dia hidup dan menangung kehinaan, atau menguburnya hidup-hidup.
Baca Juga: Mitos Nasi Orang Mati
Mereka punya beberapa variasi cara membunuh anak perempuan. Ada yang dilempar dari atas gunung. Ada pula yang ditenggelamkan. Ada pula yang disambelih. Cara membunuh yang sudah sangat memenuhi kriteria untuk kita sebut “psikopat”.
Motivasi pembunuhan juga beda-beda. Ada yang merasa harus membunuh anak perempuan karena rasa cemburu pada orang lain. Meski banyak juga yang membunuh karena alasan finansial. Takut jadi miskin. Merasa tersiksa dengan biaya kehidupan anak itu.
Sebenarnya ada banyak lagi prilaku primitif orang Arab Jahiliah selain membunuh anak. Mereka juga percaya pada ramalan.
Maksud ramalan (al-kahanah) di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul-Bari juz 10, hlm. 227, adalah klaim mengetahui hal-hal ghaib, yang tidak atau masih belum terlihat. Seperti menyampaikan informasi apa yang akan terjadi esok hari.
Pada masa jahiliah, praktik ini marak dan beragam. Di antaranya, mereka yang meminta tolong kepada jin. Jin mencuri informasi tentang hal ghaib, lalu dibisikkan pada dia. Ada yang tidak meminta pertolongan pada jin, hanya berdasarkan perasaan. Menurut Imam Ibnu Hajar, kadang memang Allah memberikan kekuatan pada sebagian orang untuk bisa melakukan hal ini. Akan tetapi, tetap saja jauh lebih banyak bohongnya. Sebagian lain ada yang menebak masa depan berdasarkan kebiasaan.
Baca Juga: Hidangan Penangkal Keburukan Jin
Islam datang memberantas hal-hal yang bersebarangan dengan syariat Islam, yang ada pada masa jahiliah. Ada banyak hadis yang menjelaskan bahwa Islam telah mengahapus praktik-praktik batil yang ada pada zaman jahiliah. Suatu ketika, ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah. Ia mengadukan masalahnya yang menganggunya sejak dia masuk Islam.
“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah merasakan nikmat Islam sejak aku masuk Islam. Pada masa jahiliah, aku punya seorang putri. Istriku menyuruhku untuk mendandaninya. Tapi aku malah membawanya ke jurang. Aku lemparkan putriku ke dalam jurang itu. Anakku sempat berkata, ‘Ayah, apakah engkau akan membunuhku?’ Tiap kali aku mengingat perkataan itu, aku menjadi mati rasa.”
“Hal-hal yang ada dalam jahiliah sudah dihancurkan oleh Islam. Sedangkan hal-hal (dosa-dosa) yang ada dalam Islam bisa dihapus dengan istighfar.”
Tak ketinggalan juga praktik ramal dengan segala ragam dan macamnya. Semua praktik ramal yang telah kami sebutkan tadi, tercela menurut syariat. Seperti yang diterangkan Imam Nawawi dalam al-Minhaj juz 5, hlm. 22, banyak hadis sahih yang menjelaskan pelarangan sekadar datang atau sekadar mempercayai perkataan peramal.
Baca Juga: Buletin Tauiyah 232
Dalam Kanzul-Ummal juz 6, hlm. 752, Abu Hurairah meriwayatkan hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوَ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi peramal lalu dia percaya pada perkataan peramal itu, maka dia sudah mengkufuri syariat yang diturunkan pada Nabi Muhamad (kafir)”
Sedikit berbeda, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ancaman orang yang mendatangi dan mempercayai perkataan peramal adalah tidak diterima salatnya selama 40 hari.
Imam Nawawi dengan mengutip perkataan ulama menjelaskan alasan mengapa Islam melarang mendatangi peramal. Beliau berkata:
قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّمَا نُهِيَ عَنْ اِتْيَانِ الْكُهَّانِ لِأَنَّهُمْ يَتَكَلَّمُوْنَ فِيْ مُغَيَّبَاتٍ قَدْ يُصَادِفُ بَعْضُهَا الْإِصَابَةَ فَيَخَافُ الْفِتْنَةَ عَلَى الْإِنْسَانِ بِسَبَبِ ذَلْكَ لِأَنَّهُمْ يُلَبِّسُوْنَ عَلَى النّاسِ كَثِيْراً مِنَ أَمْرِ الشَّرَائِعِ
“Para ulama berkata, alasan dilarang mendatangi peramal karena mereka akan berkata tentang hal-hal ghaib. Terkadang (sekali lagi, terkadang), sebagian perkataan itu benar. Hal itu dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah. Karena dengan demikian, para peramal malah semakin menyamarkan sebagian besar syariat Islam pada orang-orang.”
Karena larangan mendatangi dan mempercayai ramalan berikut alasannya ini maka, kata Imam Ibnu Hajar, praktik ramalan sangat jarang ditemui dalam Islam. Hingga hampir tidak ada sama sekali.
Jika memang percaya pada ramalan adalah prilaku primitif manusia jahiliah (kurang lebih 14 abad yang lalu) dan sudah diberantas oleh Islam, lalu apakah manusia (muslim) modern yang hidup pada abad 21 ini dan masih percaya pada hal-hal begituan adalah sisa manusia zaman itu? Wallahu a’lam.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id