كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ يَسْتَقُوْنَ عَقِيْدَتَهُمْ مِنَ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ
“Orang-orang mukmin generasi awal dari kalangan Shahabat Muhâjirîn dan Anshâr serta para pengikutnya menyerap akidah mereka dari al-Quran”[1]
Jika kita membaca sekilas kutipan teks yang digurat oleh Syekh Abu Zahrah di atas, seakan-akan tidak ada hal yang mengherankan; memang begitu pemahamannya dan memang demikian faktanya. Namun, jika kita cermati lagi dan menghubungkannya dengan problematika yang aktual, akan segera kita dapati bahwa generasi awal umat Islam memiliki metode persis kelompok Wahabi yang juga menyerap akidah dari al-Quran.
Terdapat beberapa poin yang patut kita pertanyakan, bisakah kita benarkan pernyataan bahwa Wahabi dan salafus-salih mempunyai titik kesamaan; menyerap akidah mereka dari al-Quran ? Apakah kaum Wahabi adalah kaum yang otentik atau benar-benar mengikuti apa yang diajarkan Rasulallah? Dan dibenarkankah tindakan Wahabi yang langsung menyerap akidah dari al-Quran secara langsung sebab shahabat pun demikian? Maka di sinilah perlu dijelaskan beberapa hal.
Ayo kembali kepada al-Quran
Pertama, bahwa pembenaran tindakan Wahabi yang langsung kembali kepada al-Quran dengan berdalih bahwa generasi awal umat Islam juga demikian sangat tidak dibenarkan. Mengingat bahwa kaum Wahabi tidak memiliki naluri (salîqah) arab murni. Dalam kitab As-Salafiyah, al-Buthi menjelaskan bahwa generasi awal umat Islam itu memiliki dua keistimewaan yang tidak didapati dalam diri masyarakat zaman setelahnya, yaitu naluri arab yang steril dari berbagai pengaruh kecacatan bahasa asing dan watak keislaman yang jernih.[2]
Dua karakteristik itu hanya dimiliki oleh para shahabat nabi yang hidup berdampingan dengan beliau. Oleh karena itu, dua sifat tadi kemudian memudar seiring berjalannya waktu, dari masa ke masa. Hingga pada akhirnya sifat tadi menghilang dan tak seorang pun yang dapat memilikinya.
خَيْرَكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang berada di masa (hidup)ku, kemudian mereka yang membelakanginya, kemudian mereka yang membelakanginya.”[3]
Dengan dua ciri khas ini, generasi paling awal umat Islam dapat menyerap dan mempelajari akidah langsung kepada al-Quran dan Hadis. Dengan sifat itu pula, mereka mengetahui apa saja yang pantas dan yang tidak layak bagi Tuhan. Sehingga meskipun langsung kepada Quran, mereka sama sekali tidak memunculkan ide-ide genit atau syubhat akidah dasar islam.
Baca juga : Hadis Nabi; Antara Syiah dan Ahlusunah
Kedua, bahwa yang bisa memahami al-Quran dan mengetahui seabrek rahasia yang tersimpan di dalamnya secara independen adalah mereka yang menyaksikan prosesi penerimaan wahyu oleh Sang Rasul, semasa, dan selalu menemani beliau setiap saat.[4 Sebab dengan itu, mereka mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi ketika itu.
Maka dengan demikian, kalau ada segelintir orang di abad lima belas, mengajak untuk kembali kepada al-Quran dan Hadis tanpa mempedulikan disiplin ilmu yang lain, maka sudah bisa dipastikan pemahamannya akan jauh dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah dan yang diikuti serta yang diimani oleh salafus-shalih. Untung-untung tidak sampai terpeleset ke jurang kekufuran. Na’ûdzubillahi min dzâlik.
Jadi, kendatipun umat Islam generasi paling awal langsung menyerap akidah mereka dari al-Quran dan Hadis, paham-paham yang mereka hasilkan tidak akan berseberangan dengan apa yang digariskan oleh Rasulullah, sebab mereka memiliki keistimewaan dan segenap perangkat yang tidak dimiliki oleh semua generasi selanjutnya.
Oleh sebab itu, kita saat ini harusnya terheran-heran dengan apa yang diserukan oleh Muhammad bin Abdulwahab yang baru saja menyembul pada tahun 1115 H. Terlalu jauh dari era kenabian. Mereka terlalu bersemangat untuk berijtihad padahal tidak mengantongi instrumen yang dipakai mujtahid dalam berijtihad, hingga akhirnya mereka jatuh pada lubang kesesatan.
A Daniyal Mawardi | AnnajahSidogiri.Id
[1] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib al-Islâmiyah, hal.96.
[2] Said Ramadhan al-Buthi, As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubârakah lâ madzhab islâmi, hal.27.
[3] Muslim, Sahih Muslim, Al-Maktabah as-Syâmilah. hlm.185.
[4] Imam Abu Hamid al-Ghazali, Iljâmul-‘Awâm (Majmû’ Rosâilil Imâm al-Ghazâli), hal.355