Di dalam kitab Hâsyiyatush-Shâwî ‘alâ Tafsîril-Jalâlain, ketika menjelaskan surah al-Fath ayat 18, al-Imam ash-Shawi menyebutkan satu riwayat yang menjelaskan bahwa suatu saat, ada suatu kaum mendatangi pohon yang dikenal dengan sebutan Syajaratur-Ridhwân (pohon ar-Ridwan). Mereka ingin bertabaruk dengannya. Akhirnya, mereka pun shalat di sisinya. Sebab, mereka meyakini bahwa pohon itu merupakan pohon yang menjadi saksi bisu peristiwa Bai‘atur-Ridhwân, baiat yang Rasulullah ambil dari kaum Muslimin di Hudaibiyah. Mendengar hal itu, Sayidina Umar mengancam mereka kemudian memerintah agar pohon itu ditebang.[1] Riwayat semacam ini memberikan angin segar kepada kaum Wahabi. Mereka menyimpulkan bahwa Sayidina Umar pernah melarang tabaruk.
Di dalam kitab ath-Thabaqât al-Kubrâ, Imam Ibnu Sa‘d juga mencantumkan riwayat ini:
عَنْ نَافِعٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَأْتُونَ الشَّجَرَةَ الَّتِي يُقَالُ لَهَا شَجَرَةُ الرِّضْوَانِ فَيُصَلُّونَ عِنْدَهَا؛ قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَأَوْعَدَهُمْ فِيهَا وَأَمَرَ بِقَطْعِهَا فَقُطِعَتْ.
Diriwayatkan dari Nafi‘, beliau berkata, “Orang-orang banyak mendatangi pohon yang dikenal dengan pohon ar-Ridwan. Dan mereka shalat di sisinya.” Lalu beliau melanjutkan, “Kemudian hal itu sampai kepada Sayidina Umar. Akhirnya, beliau mengancam mereka dan menyuruh agar pohon itu ditebang.”
Lantas, benarkan Sayidina Umar pernah melarang tabaruk?
Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki memaparkan bahwa kesimpulan seperti di atas tidaklah benar, karena apa yang yang dilakukan oleh Sayidina Umar itu bukanlah larangan untuk bertabaruk. Sebab, pohon yang ditebang oleh Sayidina Umar itu bukanlah pohon yang menjadi saksi bisu peristiwa Bai‘atur-Ridhwân. Hanya saja, pohon itu dikenal dengan julukan pohon ar-Ridwan.[2] Di antara bukti akan hal itu adalah, hadis riwayat al-Imam al-Bukhari di dalam kitab Sahîh-nya:
عَنْ طَارِقِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ انْطَلَقْتُ حَاجًّا فَمَرَرْتُ بِقَوْمٍ يُصَلُّونَ قُلْتُ مَا هَذَا الْمَسْجِدُ؟ قَالُوا هَذِهِ الشَّجَرَةُ حَيْثُ بَايَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ سَعِيدٌ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ كَانَ فِيمَنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ قَالَ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ نَسِينَاهَا فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهَا فَقَالَ سَعِيدٌ إِنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْلَمُوهَا وَعَلِمْتُمُوهَا أَنْتُمْ؟ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ؟. (رواه البخاري)
Dari hadis Tariq bin Abdur Rahman, beliau berkata: Aku berangkat haji dan melewati beberapa orang yang shalat. Aku bertanya: Masjid apakah ini? Mereka mengatakan pohon ini adalah tempat Rasulullah ﷺ melaksanakan Baiat Ridwan. Maka aku pun menemui Said bin al-Musayyib dan aku memberitahunya akan hal itu. Kemudian Said berkata, “Ayahku menceritakan kepadaku bahwa dia termasuk orang-orang yang ikut Baiat di bawah pohon (baiat Ridwan). Ayahku berkata, ‘Ketika kami keluar pada tahun setelahnya, kami lupa di mana pohon itu. Dan kami tidak dapat mengingatnya’.” Lalu Sa‘id melanjutkan, “Sesungguhnya sahabat Nabi pun tidak mengetahui pohon itu. Kok bisa kalian mengetahuinya? Apakah kalian lebih tahu dari mereka?”. (HR. Bukhari [4163]).
Pernyataan Said bin al-Musayyib di atas menunjukkan bahwa setelah peristiwa Bai‘atur-Ridhwân, sahabat banyak yang sudah lupa di mana mereka dahulu membaiatRasulullah. Allah telah menjadikan mereka lupa karena ada suatu hal yang Dia kehendaki.[3]
Jadi, ketika periode shahabat saja tidak ada yang mengetahui tempat pohon itu secara pasti, apalagi ketika periode setelahnya. Padahal, saat itu shahabat yang mengikuti baiat masih banyak yang hidup. Kok bisa orang-orang setelahnya mengetahui keberadaan pohon itu?! Mustahil.
Adapun alasan mengapa Sayidina Umar menebangnya adalah, beliau tidak rela jika ada sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, tapi pada hakikatnya tidak sah jika disandarkan kepada beliau. Dengan demikian, kesimpulan bahwa Sayidina Umar melarang tabaruk itu tidak benar. Sebab, pohon yang beliau tebang bukanlah pohon tempat Rasulullah melakukan BaiatRidwan.
Di dalam kitab Shahîhul-Bukhârî tercantum satu riwayat bahwa Sayidina Umar pun pernah bertabaruk, yakni dengan cincin Nabi Muhammad ﷺ:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : اتَّخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَلِهُ وَسَلَّمَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ ، وَكَانَ فِي يَدِهِ ، ثُمَّ كَانَ بَعْدُ فِي يَدِ اَبِي بَكْرٍ ، ثُمَّ كَانَ بَعْدُ فِي يَدِ عُمَرَ ، ثُمَّ كَانَ بَعْدُ فِي يَدِ عُثْمَانَ ، حَتَّى وَقَعَ بَعْدُ فِي بِئْرِ اَرِيْس ، نَقْشُهُ : مُحَمَّدٌ رَسُولُ اَللَّهِ . (رواه البخاري)
Dari Sahabat Ibnu Umar, beliau berkata: Rasulullah membuat cincin dari perak. Awalnya, cincin tersebut berada di tangan beliau. Lalu berada di tangan Abu Bakar, Umar hingga Usman. Akhirnya, cincin itu jatuh di sumur Aris. Di atas cincin itu terukir “Muhammad Rasulullah”. (HR. Bukhari. [5873]).
Mohammad Ishaqi al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi, Hâsyiyatush-Shâwî ‘alâ Tafsîril-Jalâlain, juz 4 hlm. 128.
[2] Sayid Muhammad, Manhajus-Salaf fî Fahmin-Nushûsh Baynan-Nadhariyyah wat-Tathbiq, hlm. 114. Lihat juga karya Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ’ ash-Shirât al-Mustaqîm, juz 1 hlm. 306.
[3] Manhajus-Salaf fi fahmi-nushush baynan-nadzariyah, hlm. 114.