Perbedaan dalam agama merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Akal manusia pasti memiliki pola pikir yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu permasalahan. Meski demikian, perbedan tersebut akan menjadi nilai plus bagi agama. Sebab tanpa perbedaan pendapat, agama akan lebih jumud dan semakin sulit untuk diterapkan dengan sempurna.
Oleh karena itu, Ibnu Ruslan dalam nadzam fundamentalnya berkata: “Wal Ikhtifau Rahmatun” yang artinya, bahwa perbedaan pendapat merupakan rahmat.[1] Dari sini kita mengetahui bahwa perbedaan justru diniliai plus oleh Ibnu Ruslan. Namun perbedaan tersebut bisa dianggap baik, jika perbedaan tersebut tidak menyentuh kepada ranah akidah (ushuluddin), sebagaimana pebedaan pendapat yang ada pada beberapa golongan seperti Syiah, Wahabi, dan lain-lain.
Dalam kesempatan yang singkat ini, penulis ingin menitik beratkan pembahasan tentang perkembangan politik Kaum Syiah.
Syiah sendiri merupakan ideologi yang tumbuh pada akhir masa kekhilafahan Sayyidina Ustman bin Affan atas keberhasilan Abdullah bin Saba’ yang biasa disebut Ibnu Sauda dalam menyebarkan ajarannya. Ia adalah seorang Yahudi yang berasal dari Kota Persia yang menampakan diri sebagai Muslim dengan misi menggerogoti Islam dari dalam. Misi ini ia cita-citakan semenjak kekalahan kaum Persia di tangan panji Islam di bawah naungan Khilafah Sayyidina Umar bin Khatab, namun bisa mencapai kata berhasil di akhir masa kekhilafaan Sayyidina Utsman bin Affan.
Baca Juga; Allah Tidak Menampakkan Diri-Nya
Mula-mula ia menghembuskan ideologinya di kota yang sahabat di sana masih memiliki iman yang kuat, akhirnya misi yang diusungnya gagal total. Ketika ia mulai menyadari faktor utama kegagalannya, ia mensusupi ideologinya ke kota-kota yang tercatat baru masuk Islam dengan penduduk yang imannya masih lemah.
Hasilnya, benar saja ideologinya berhasil menjadi ideologi sesat terkuno yang berhasil meracuni umat Islam, bahkan keberhasilannya menyulut api penduduk Mesir untuk melakukan sengketa kepada Sayyidina Utsman yang kala itu menjadi khalifah sampai berujung kepada kematian Sayyidina Utsman. Tidak hanya itu, bahkan Ibnu Sauda dan para pengikutnya berhasil membuat perpecahan di dalam kaum Muslim sampai menjadi faktor utama atas meletusnya perang Shiffin.
Namun, sayangnya ideologi ini tidak pernah bangkit menjadi kekuatan politik yang mendominasi umat Islam. Umayyah dan Abbasiyah selalu bisa meredam bau-bau pemberontakan Syiah. Pada abad ke-6 bangsa Mongol berhasil membumihanguskan dominasi dinasti Abassiyah dan mengubur habis-habis nama dinasti Abassiyah dari kanca dunia. Hal ini tidak akan terjadi jika pihak Syiah tidak bersengkongkol dengan pasukan Mongol untuk menggulingkan kelompok Abbasyiah[2].
Namun meski begitu, dominasi Islam tidak pernah benar-benar berada dalam genggaman Syiah. Puncak kejayaan Syiah hanya bisa mencapai tingkat dinasti pada abad ke-9 oleh Syiah Ismailiyah yang bernama Dinasti Fathimiyah. Dinasti ini adalah cikal bakal kelompok Hasyawiyin yang berhasil membuat teror yang lumayan mencengkram di abad ke-10. Salah satu prestasinya adalah berhasil membunuh Imadudin Zanki yang merupakan guru dari Salahuddin al-Ayubi.
Dinasti ini kemudian roboh setelah kekalahan telak mereka atas Imperial Dinasti Ayubbiyah yang kala itu dipimpin langsung oleh Salahuddin al-Ayyubi yang kala itu merupakan dinasti yang dipertimbangkan di dunia[3].
Sampai runtuhnya Dinasti Fathimiyah, Syiah tidak pernah muncul kembali sebagai kekuatan politik. Mereka lebih fokus memperkental ritual-ritual mereka dan memilih untuk terus ber-taqiyah. Menurut mereka taqiyah memiliki keutamaan tersendiri dan menjadi media menyusupkan ajarannya ke berbagai daerah pelosok.
Baca Juga; Syiah Pelopor Ajaran Rasisme
Pada abad ke-18 H. kelompok Wahabi yang kala itu berekrja sama dengan kerajaan Arab membumihanguskan karbala dan simbol-simbol yang dimiliki oleh kaum Syiah. Mereka hanya bisa terdiam melihat simbol agung mereka hancur satu-persatu. Wahabi melakukan hal ini dengan dasar ingin memurnikan ajaran Islam untuk kembali terhadap al-Qur’an dan hadis.
Bahkan, makam Baqi, makam Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Hasan juga dihancurkan tanpa ampun oleh mereka. Menurut mereka, Baqi adalah kuil agung para penyembah kuburan dan tempat kemungkaran yang perlu dibumihanguskan. Hal ini menyulut api semangat para ulama Syiah untuk membangun politik baru guna membalaskan dendam kepada kaum Salafi. Mereka sadar bahwa membalas kaum Salafi tidak cukup hanya dengan selalu berada di bawah naungan Ahlusunah dengan bermodalan taqiyah saja.
Akhirnya, pada abad ke-20 fatwa Ayatullah Sistani yang kala itu merupakan Ayatullah agung Syiah, menjadi jawaban atas doa-doa Syiah selama ini. Ia memfatwakan taqiyah untuk berpura-pura pro Amerika yang kala itu tengah berperang dengan negara Irak. Setelah penantian yang lama pada tahun 2003 M. Saddam Husein berhasil mereka gusur dari kursi kepemimpinannya. Berkat fatwa tersebut akhirnya Syiah memiliki dominasi yang kuat di Timur Tengah terutama di negara Irak dan Iran.
Ahmadul Jawwad | Annajahsidogiri.id
[1]Ibnu Ruslan, Mandzumatuz–Zubad, bait ke 50
[2] Vali Nasr, Bangkitnya Syiah, hlm. 33
[3] Ali Muhammad as-Ashalabi, Runtuh dan bangkitnya Dinasti Ayyubiyah, hlm. 123