Meski mayoritas ulama sepakat bahwa bagi siapapun yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, harus mengikuti (taqlîd) kepada salah satu mazhab dari empat mazhab yang terkodifikasi; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Imam Hanbali (Syarhus-Shâwî alâ Jauharatit-Tauhîd, hlm. 342)– hal ini sebab kriteria dan syarat menjadi mujtahid yang begitu banyak dan sulit –,ada dua kelompok yang malah berusaha melakukan ijtihad sendiri atau menyarankan semua orang (baik yang memenuhi syarat menjadi mujtahidatau tidak) untuk melakukan ijtihad dan tidak mengikuti ulama sebelumnya atau mazhab tertentu. Kelompok pertama, mereka yang pemikirannya cenderung bebas. Mereka berusaha menciptakan “ijtihad” baru dalam beberapa hukum Islam yang sama sekali berbeda dengan pendapat ulama terdahulu. Kejadian cukup heboh yang mungkin masih segar dalam ingatan kita terkait kelompok kedua ini, adalah kasus salah satu oknum dosen yang menghalalkan zina.
Kelompok kedua adalah sebagian dari mereka yang akidahnya beraliran Salafi-Wahabi. Mereka berdalih bahwa pendapat ulama hanyalah opini, bisa salah, juga bisa benar (ghairu ma’shûm). Sedangkan al-Quran dan Hadis adalah teks yang bisa memang pasti kebenarannya (ma’shûm). Maka seharusnya seseorang langsung mengambil hukum dari al-Quran dan Hadis (al-Lâmadzhabîyah, hlm. 56 dan 61). Jargon yang sering mereka pakai adalah, “Kembali pada al-Quran dan Sunah.”
Problem Kelompok Pertama (Liberal)
Jika kita lihat alasan mereka berusaha menciptakan ijtihad baru, mungkin kita akan dapati bahwa tujuan mereka -menurut mereka- cukup baik. Dalam kasus yang kami contohkan tadi, misalnya, dosen yang memperbolehkan zina itu beralalasan, dia perihatin terhadap prilaku diskriminatif, stigma negatif, dan pembatasan akses terhadap mereka yang melakukan zina. (Detik.com). Hal ini menurut dia, tidak lain karena zina masih berhukum haram. Sebab itu, menurut dia, lebih baik zina diperbolehkan saja. Tetapi rasa prihatin saja tidak cukup untuk kemudian dengan mudah “sok” mengarahkan umat pada arah yang dia anggap baik. Sejarah berulangkali membuktikan itu. Karena anggapan syirik pada peziarah kubur dan rasa perihatin atas hal itu, Wahabi malah menghancurkan makam generasi terbaik umat ini, para sahabat, kompleks pemakaman Baqi, Madinah.
Dua Problem Liberal
Ada dua problem dalam hal ini. Pertama, masalah semangat mereka untuk menciptakan ijtihad baru, serta fakta bahwa mereka tidak memenuhi syarat ilmiah yang melegitimasi semangat mereka. Kedua, objek kajian ijtihad baru mereka bahkan mencakup keputusan yang ulama telah menyepakatinya atau menjadi bagian dari ma’lûm minad-dîn bidh-dharûrah (hal-hal yang karena kemasyhurannya, semua orang bisa mengetahuinya) sehingga upaya perombakan pada hukum-hukum qhath’î (pasti) Islam banyak mereka lakukan. Seperti menghalalkan zina, mengharamkan poligami, dll.
Problem pertama, selain berasal rasa prihatin yang tidak berdasarkan pada syariat, juga berasal dari over percaya diri mereka, tanpa melihat kapasitas diri. Memang pintu ijtihad belum ditutup, tetapi syarat menjadi mujtahid itu sulit sekali. Karena itu, Imam ar-Râfi’î, Imam Fakhrud-Dîn ar-Râzi dan Imam an-Nawawî mengatakan, “Orang-orang seakan sudah sepakat bahwa tidak ada mujtahid sekarang.” (Minhatul-Hamîd, hlm. 243).
Baca Juga: Waspada Hasil Ijtihad Kaum Liberal
Problem kedua (yang merupakan imbas dari problem pertama), dampaknya cukup berat dalam keberagamaan mereka. Sebab salah satu hal yang bisa menyebabkan orang menjadi murtad adalah mengingkari ijmak atau ragu pada apa yang telah menjadi bagian dari ma’lûm minad-dîn bidh-dharûrah. (Sullâmut-Taufîq, hlm. 68)
Badruttamam|Annajahsidogiri.id