Dikisahkan bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dikenal sebagai pelopor gerakan sekte Wahabi Salafi, sangat tidak menyukai dan merasa terganggu dengan pembacaan sholawat Nabi ﷺ, terutama jika dilantunkan dengan suara keras. Ia bahkan secara tegas melarang pembacaan shalawat yang dikumandangkan oleh para muadzin dari menara-menara masjid setelah adzan.[1]
Diceritakan pula bahwa beliau pernah membunuh seorang muadzin buta yang memiliki suara merdu, karena muadzin tersebut tetap melantunkan shalawat meskipun telah dilarang sejak lama. Tindakan ini dilandasi oleh keyakinannya dalam menjaga kemurnian tauhid dan keimanan umat, yang pada dasarnya semuanya bermuara pada pola pikirnya yang dogmatis dan ke-kakuannya dalam memahami konsep bidah.[2]
Entah apa yang menjadi dasar dan alasan baginya, sehingga Ia dengan begitu tega membunuh si muadzin yang buta. Dan jika kita amati , ternyata banyak sejarah berdarah sekte Wahabi yang begitu tega membantai kelompok-kelompok seagama, hanya karena bertentangan dan tidak sepaham dengan mereka. Anehnya, mereka tidak pernah menghiraukan ataupun melakukan genjatan senjata dengan kelompok-kelompok Yahudi ataupun Nasrani yang secara terang-terangan mereka melakukan kemungkaran dan kedzaliman.
Baca Juga; Kontroversi Wahabi Perihal Mengatakan “ Sayyid “ Pada Nabi
Mereka menyatakan bahwa melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan suara jahr (keras) setelah adzan hukumnya seperti perbuatan seorang anak yang menikahi ibu kandungnya sendiri, yaitu termasuk dosa besar. Pernyataan semacam ini pernah disampaikan oleh seorang ulama di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, Suriah. Pernyataan tersebut kemudian dinukil oleh Al-Juwayji, Imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Suriah, dalam kitabnya.[3]
Adapun pembacaan shalawat setelah adzan itu sendiri, memang tidak pernah dilakukan pada masa para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Pembacaan tersebut baru muncul setelah kelompok-kelompok Rafidhah di Mesir mensyariatkan pembacaan taslîm (permohonan keselamatan) kepada pemimpin-pemimpin mereka beserta para menterinya. Pada akhirnya, ketika pemimpin yang adil, Salahuddin al-Ayyubi, menduduki kursi kekuasaan, beliau dengan tegas menolak kebidahan tersebut dan menggantinya dengan pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Yang kemudian dilanjutkan oleh Sultan al-Mansur Haji bin al Asyraf Sya’ban bin Husain bin an-Nāshir Muhammad bin al-Mansur Qalawun, atas perintah al-Muḥtasib (pejabat pengawas pasar dan keagamaan) Najmuddin ath-Thanbadi, dan itu terjadi pada bulan Sya’ban tahun 791 H.[4]
Hal ini beliau lakukan berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi:
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء
Artinya:
“Barang siapa yang memulai suatu kebiasaan yang baik, maka baginya pahala dari apa yang ia lakukan, dan pahala dari orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.” (HR. Muslim)
Baca Juga; Nabi Khidir Hanya Ilusi Sufi?
Termasuk salah satu hadis yang secara eksplisit menjelaskan kesunnahan tersebut adalah:
من ذكرني فليصلي علي
Artinya:
“Barang siapa yang menyebut namaku, hendaklah ia bershalawat kepadaku.” (HR. al-Tabarani)
Bahkan, al-Hafizh al-Thahawi yang merupakan santri al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani telah mengarang karya khusus yang menjelaskan legalitas membaca shalawat setelah adzan, seperti kitabnya yang berjudul “Al-Qaul al-Badî’ fi as-Shalâti ala as-Syâfi’“. Selain itu, masih banyak lagi karya-karya ulama lainnya yang membahas hal ini.
Muhammad Hafidz | Annajahsidogiri.Id
[1] At–Tawassul Bi an–Nabi Wabi as–Shâlihîn, hlm. 105.
[2] Al–Futuhat Al–Islamiah, jilid 2, hlm. 240.
[3] Al–Ishâbah, hlm. 8.
[4] Al-Wasa’il Fi Musâmarah Al-Awa’il, hlm. 23-24.