هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
“Dialah Yang Maha Awal [yang tidak didahului ketiadaan] dan Maha Akhir [yang tidak diikuti ketiadaan].” (QS. al-Hadid: 3).
Dengan mengamati seluruh partikel semesta ini, mulai hal yang mikro sampai makro, maka kita bisa menarik benang merah bahwa segala sesuatu yang ada pada jagat raya mempunyai awal mula kejadian. Ketika kita melihat batu dengan ragam bentuk pada halaman rumah kita, meskipun kita tidak tahu kapan, tetapi akal sehat bisa menilai bahwa batu itu tidaklah tiba-tiba ada dan memiliki ragam seperi itu melainkan pasti ada suatu proses yang membuatnya ada pada halaman rumah kita dan membuatnya berbentuk seperti itu. Ini adalah kesimpulan rasional yang sudah final.
Baca Juga: Memahami Sifat Wujud Allah
Sejurus dengan itu, Imam ad-Dasuki dalam Hasyiyah ad-Dasuki, membagiawal mula sendiri menjadi dua macam: Pertama, awal mula perubahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Ini adalah awal mula yang jamak dilihat pada semesta ini sehari-hari. Kedua, awal mula perubahan dari ketiadaan murni menjadi keberadaan. Dengan kata lain, jenis ini adalah awal mula adanya sesuatu dari sebelumnya tidak ada menjadi ada. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kita observasi setiap hari sebab termasuk perkara yang tidak mampu dinalar panca indra.
Untuk awal mula jenis pertama, maka tidak perlu diurai panjang lebar sebab semua orang telah sepakat bahwa hal itu terjadi pada semua objek di alam semesta. Sedangkan yang menjadi pembahasan adalah jenis awal mula kedua, di mana sesuatu bisa menjadi ada dari ketiadaan. Mungkinkah ketiadaan berubah menjadi ada? Jawabannya mungkin saja, bahkan itu bisa dipastikan telah terjadi pada alam semesta ini secara global.
Akal manusia mempunyai dua opsi tentang awal mula wujud alam semesta ini. Pertama, ia berasal dari bahan baku yang sebelumnya telah ada dan bahan baku tersebut juga berasal dari bahan baku sebelumnya lagi (yang sudah ada) dan demikian seterusnya tanpa titik akhir. Istilah ini, kalangan mutakallimin menyebutkannya sebagai tasalsul (infinite regress of causes).
Term tasalsul ini merupakan sesuatu yang absurd, sebab segala yang mengalami perubahan pastilah berawal dari satu titik awal. Bila titik awal segala sesuatu adalah bahan baku yang ada sebelumnya, maka secara logis pastilah ada titik paling awal dari bahan baku paling awal yang berupa ketiadaan murni. Mustahil sesuatu yang mengalami perubahan sama sekali tidak mempunyai titik awal bagi wujudnya. Legitimasi ini tidak bisa terbantah kecuali golongan ateis yang mengabaikan logika sehat. Karena itu hanya tersisa opsi kedua untuk dipilih, yakni alam semesta berasal dari ketiadaan. Dengan kata lain, ujung paling awal dari rentetan keberadaan semesta ini pastilah ketiadaan.
Baca Juga: Alasan Wajib Mengetahui Sifat Sifat Allah Swt
Ketiadaan bisa berubah menjadi ada apabila ada yang mengubahnya. Artinya tak mungkin kondisi kosong tanpa apa-apa kemudian berubah menjadi ada dengan sendirinya. Sebab itulah maka dipastikan ada yang menciptakan sesuatu yang ada (semesta) tersebut. Pencpta tersebut secara fundamental tak lain adalah Allah. Hanya Allah-lah yang bisa menciptakan sesuatu menjadi ada tanpa bahan baku apa pun.
Lalu pertanyaannya, apakah keberadaan Allah juga mempunyai awal mula? Bila dijawab ‘ya’ maka kita akan terjebak di dalam lingkaran tasalsul yang secara rasional mustahil terjadi, sehingga hanya ada satu opsi yang tepat untuk dipilih, yakni keberadaan Allah tidak mempunyai awal mula alias tidak didahului ketiadaan.
Keberadaan tanpa awal mula ini, dalam konsep epistemologi Islam disebut sifat qidam. Dalam kitab Tuhfatul-murid, Syekhul-Islam Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri memaparkan bahwa seorang Muslim mempercayai Allah bersifat qidam merupakan hal yang imperatif, bila tidak maka legalitas keimanannya tidak sah.
Antonim dari qidam, sebagaimana dipaparkan oleh Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi dalam Syarhu Ummil-Barahin, adalah huduts yang berarti punya mula, baik berupa mula dalam bentuk materi lain atau mula berupa ketiadaan. Karena Allah bersifat qidam, maka mustahil Allah bersifat huduts. Sebab alam semesta bersifat huduts, maka mustahil alam semesta bersifat qidam.
Bahasan krusial di atas adalah hipotesis rasional dari para ulama Ahlusunah wal Jamaah untuk berdialog dengan non-Muslim yang tidak mempercayai al-Quran dan hadis, karena meyakinkan mereka tentang sifat Ketuhanan tanpa argumen rasional merupakan hal yang impase. Wallahu a’lam.
Ahmad Zaini | annajahsidogri.id