Kita tahu bahwa agama Islam adalah agama murni yang diturunkan oleh Allah ﷻ melalui lisan mulia para rasul-Nya. Syariat-syariat setiap nabi memang boleh beda, namun agama harus tetap sama. Dari awal terutusnya Nabi Adam sebagai manusia pertama, agama yang diwahyukan kepadanya adalah tetap agama Islam. Hal itu sebab kapanpun dan dimanapun berada, agama Islam akan tetap memurnikan tauhid dan beriman bahwa Allah itu satu dan tidak lebih.
Berbicara soal agama, bagaimana dengan keadaan syariat? Apakah syariat bisa berubah sesuai zamannya? Berikut simak penjelasan Dr Kholili Hasib saat diwawancarai oleh Moch Rizky Febrianysah selaku redaksi AnnajahSidogiri.ID.
- Apakah syariat masih relevan di era modern seperti ini?
Perlu diketahui bahwa syariat adalah konsekuensi dari adanya keimanan (akidah). Dalam Islam, seseorang yang telah beriman pada Allah ﷻ dan rasul-Nya, maka wajib baginya untuk melaksanakan syariat-syariat yang telah diajarkan oleh nabi, seperti shalat, puasa, zakat, dls. Jika seseorang meyakini bahwa syariat Islam itu sumbernya adalah wahyu, maka ia juga harus meyakini dan memantapkan hatinya bahwa syariat Islam itu bersifat absolut.
Hal ini sangat berbeda dengan anggapan Muslim Liberal yang mengatakan bahwa syariat Islam adalah produk dari suatu budaya. Sehingga mereka menimbulkan suatu pertanyaan kontroversial mengenai relevansi syariat Islam di era modern. Maka jawaban yang pas adalah syariat Islam akan tetap selalu relevan mengikuti perubahan zaman dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan Nabi ﷺ pada umatnya.
Baca Juga: Gelar Al-Masih; antara Nabi Isa dan Dajjal
- Apakah syariat sifatnya absolut (tetap) atau fleksibel (berubah)?
Dalam hal ini, perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa terdapat beberapa syariat yang berlandaskan terhadap akidah, seperti dalam hadis
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Hadis di atas menjelaskan dan mengkaitkan penghormatan tamu kepada orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan hari akhir.
Mengenai pertanyaan ini, memang syariat itu ada beberapa hal yang bersifat absolut, dalam artian tidak akan berubah hingga kapanpun, seperti shalat fardhu itu hanya lima waktu, serta menghadap ka’bah, dll. Dan ada yang bersifat fleksibel, yakni tergantung sesuai zaman dan tempatnya. Yang fleksibel ini biasanya adalah yang bersifat aplikatif, teknis sebagaimana contoh beberapa tatacara shalat yang berbeda-beda di setiap Mazhab.
Gampangnya, secara prinsip syariat Islam itu absolut, namun dalam hal teknis atau aplikatif biasanya bersifat ijtihadi yang akan menimbulkan beberapa perbedaan pendapat sesuai zaman dan tempatnya.
- Bagaimana sebenarnya pemahaman tentang kaidah tsawabit dan mutaghayyirat?
Dalam kaidah tersebut, tsawabit itu bisa diartikan sebagai suatu hal yang ketentuannya permanen. Artinya, seperti contoh shalat menghadap arah kiblat atau shalat fardhu itu ada lima waktu adalah yang bisa kita sebut sebagai worldview Islam. Dalam artian, bagaimana cara kita memandang Islam.
Kemudian, mutaghayyirat itu maksudnya adalah hukum Islam yang berubah/berbeda tergantung pada siapa yang menganalisanya dari al-Quran taupun hadis. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini bahwa perubahan hukum tersebut terdapat dalam kerangka dan kriteria yang ketat.
Jika analisa terhadap suatu hukum tersebut terlaksana sesuai rambu-rambunya, dan ternyata terjadi suatu perbedaan maka itulah yang dikatakan rahmat bagi umat. Namun, jika proses tersebut tidak sesuai arahan syariat maka itulah penyimpangan, dan barang tentu hal ini harus disingkirkan.
Baca Juga: Benarkah Al-Quran Ketinggalan Zaman?
- Bagaimana pemahaman yang benar tentang kaidah تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان ?
Kaidah ini seringkali disalahpahami oleh sebagian kalangan terutama golongan ekstrim kiri, padahal kaidah ini adalah kaidah Ahlusunnah wal Jamaah. Selama ribuan tahun ulama memakai kaidah ini namun mereka sama sekali tidak ada yang sesat maupun menyesatkan, beda halnya dengan golongan liberal yang menghalalkan segala cara dengan berpijak pada kaidah ini.
Pemahaman yang benar mengenai kaidah ini adalah memang perubahan zaman dapat mempengaruhi perubahan hukum syariat, namun hal itu sekali lagi dengan kriteria yang sangat ketat. Maka tidak benar misalnya khamr yang awalnya diharamkan di Arab sebab suhu panas, langsung berhukum boleh jika dikonsumsi di daerah Eropa sebab suhu dingin yang sangat membutuhkannya. Ini merupakan hasil nalar ijtihad yang sangat fatal dan tanpa pijakan yang sesuai syariat.
Ala kulli hal, memang hukum syariat itu bisa berubah sesuai zaman dan kondisinya, namun tetap dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat ketat dan rumit. Maka di sinilah peran Mujtahid sangat dibutuhkan.
Moch Rizky Febrianysah | AnnajahSidogiri.ID