Syiah merupakan mazhab politik tertua yang memisahkan diri dari jalan yang telah digariskan oleh Rasulallah ﷺ. Mereka mulai menampakkan diri pada akhir masa pemerintahan Sayidina Utsman radiyallahu ‘anhu. Kemudian sekte itu berkembang ketika Sayidina Ali menjabat sebagai khalifah[1]. Sebagaimana yang sudah maklum, orang yang pertama kali memercikkan api cinta ahlul bait (meski hanya sebagai kedok) adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang berpura-pura masuk Islam.
Akan tetapi, dalam artikel singkat ini, penulis tidak mau membahas panjang lebar tentang sejarah kemunculan sekte ini. Artikel ini lebih terfokus pada ideologi yang dimiliki oleh Syiah ekstrem. Dalam tataran ideologi, doktrin-doktrin sekte Syiah telah mewarnai khazanah keilmuan Islam, mulai dari segi pemikiran hingga implementasinya di kehidupan riil.
Ketika kita mengkaji seputar ideologi Syiah, secara global dan jelas, kita dapati bahwa Syiah adalah ideologi pengkafiran. Bagaimana tidak, dalam banyak hal Syiah tidak hanya mengafirkan kelompok di luarnya saja, seperti Wahabi dan Ahlusunah. Lebih ngeri dari itu, Syiah berani mengafirkan dan mencaci para shahabat dan istri-istri Nabi Muhammad ﷺ yang notabenenya mereka adalah generasi terbaik sepanjang sejarah umat Islam.
Sebagai sampel saja, dalam kitab al-Kafi, yakni kitab standar hadis Syiah yang konon kata mereka lebih sahih dari pada Sahih Bukhari, dikatakan:
عَنْ أَبِيْ جَعْفَر قَالَ: كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ اِلَّا ثَلَاثَة فَقُلْتُ: مَنِ الثَّلَاثَة؟ فَقَالَ: المِقْدَاد بن الْأَسْوَد وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ وَسَلْمَان الْفَارِسِي رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ
“Dari Abi Ja’far berkata: “Pasca wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, semua orang menjadi murtad kecuali tiga.” Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab: “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.”[2]
Dari keterangan barusan, secara eksplisit, Syiah menyatakan bahwa pada periode awal Islam telah terjadi pemurtadan massal. Dalam artian, orang-orang ketika itu melepas keimanannya setelah nabi wafat. Dengan demikian, secara tidak langsung, Syiah telah memvonis kafir seluruh shahabat kala itu, baik laki-laki mupun perempuan, kecil maupun dewasa, budak maupun merdeka. Bahkan yang paling mereka benci adalah para pembesar shahabat, yakni para pemangku jabatan khalifah sebelum Sayidina Ali; Sayidina Abu Bakar, Umar, dan Utsman radiyallahu ‘anhum.
Baca Juga : Legalitas Manakiban
Orang yang paling dibenci oleh Syiah adalah mereka yang (menurut Syiah) memiliki relasi buruk dengan Sayidina Ali, seperti tiga khalifah tadi. Mereka bertiga dibenci sebab dianggap telah merampas hak yang mesti diterima oleh Sayidina Ali. Tidak tanggung-tanggung, mereka memberi julukan shanamai quraisyin (dua berhalanya suku Quraisy) kepada Sayidina Abu Bakar dan Umar.
Tak luput juga, putri-putrinya pun menjadi objek cibiran yang tak berkesudahan. Dalam konteks ini adalah Sayyidatuna ‘Aisyah dan Sayyidatuna Hafshah. Mirisnya, Syiah tidak mempertimbangkan bahwa belaiu berdua merupakan istri baginda nabi. Di antara dua orang tersebut, yang paling dibenci oleh Syiah adalah Sayyidatuna ‘Aisyah. Hal tersebut tak lain karena Sayyidatuna ‘Aisyah pernah terlibat konflik dengan Sayidina Ali dalam perang Jamal.
Untuk membuktikan apa yang disebut barusan, penulis akan mengutip sebuah doa yang sangat populer di kalangan Syiah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَالْعِنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ جُبَّتَيْهِمَا وَطَاغُوَتَيْهِمَا وَافْكِيهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا الَّذِينَ خَالَفَا أَمْرَكَ…
Selain apa yang dikutip di atas, masih tersisa segudang cacian, cemoohan, dan tuduhan-tuduhan miring yang disematkan kepada para shahabat dan ummahatul-mukminin. Apabila dilihat secara seksama dan direnungkan dengan pikiran jernih, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa betapa gejolak amarah telah berhasil mengendalikan fikiran dan jiwa penganut Syiah. Sebab, cacian tersebut muncul dari api amarah belaka, tidak didasari bukti historis, ilmiah, apalagi naqliyah. Simpelnya, ideologi Syiah adalah sebuah implementasi dari amarah. Keyakinan dan doktrin ajaran Syiah hanya berfungsi untuk memberikan efek puas terhadap nafsu mereka.
Nah, ketika prinsip keyakinan mereka adalah sekadar manifestasi dari amarah yang muncul dari sifat-sifat hati yang tercela, maka sudah sangat jelas bahwa hal tersebut telah keluar dari ranah ilmiah. Oleh karena itu, kita tidak perlu menggugat terlalu jauh dan tidak perlu mendebat secara ilmiah. Imam an-Nawawi berkata:
وَهَؤُلَاء أَسْخَفُ مَذْهَبًا وَأَفْسَدُ عَقْلًا مِنْ أَنْ يَرُدَّ قَوْلُهُمْ أَوْ ُينَاظَرَ
Aliran mereka (Syiah) terlalu lemah dan nalar mereka terlalu error untuk sekadar disanggah atau didebat secara ilmiah.[3]
Kendati demikian, kita masih perlu untuk mempelajari tentang ideologi Syiah. Bukan untuk mengikutinya, tetapi untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat awam betapa bahayanya sekte ini. Meski tidak ilmiah, ideologi ini masih eksis di mana-mana, salah satunya di Indonesia. Entah mengapa dogma-dogma non-ilmiah Syiah laris di kalangan masyarakat awam. Menurut hemat penulis, mereka tidak mungkin menganut sekte ini hanya karena tertarik pada ideologinya. Di samping itu, pasti ada iming-iming lain yang sifatnya eksternal, baik itu berupa finansial atau tidak. Problem inilah yang menjadi tugas rumah bagi pegiat Ahlusunah.
A. Daniyal Mawardi | AnnajahSidogiri.id
[1] Syaikh Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahib al-Islamiyah, hal. 32
[2] Al-Kulaini, al-Kafi, juz 8 hal. 245
[3] al-Imam an-Nawawi, Syarhun-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 8 hal.145