Mengkaji Pancasila dari segi fikih berarti memahami terlebih dahulu posisi Pancasila di mata hukum. Pasal 2 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 menjelaskan bahwa, “Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Dengan tegas, pasal ini menyatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala produk hukum (perundang-undangan).
Baca Juga: Taat Pada Pemerintah
Pancasila adalah asas. Sedangkan semua produk hukum berdiri di atasnya. Memang tidak ada undang-undang yang dengan tegas menyatakan bahwa semua rakyat Indonesia harus taat dan patuh pada Pancasila, tetapi taat pada hukum ada undang-undangnya sendiri. Setiap warga negara Indonesia wajib mematuhi hukum dan pemerintahan sebagaimana tergambar dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Mari kita sederhanakan. Karena kita wajib mentaati hukum, maka tentu kita wajib mentaati Pancasila yang menjadi dasar segala hukum.
Begitu juga menurut kaca mata syariat. Kita wajib tunduk dan patuh pada pemerintah dan peraturan negara. Dalam kitab Tasyrî’ al-Janâ’i juz I hlm. 223dijelaskan:
“Jika peraturan dan undang-undang cocok dengan al-Quran dan hadis, atau sejalan dengan prinsip-prinsip universal syariah, maka wajib ditaati. Bagi siapa pun yang menyalahinya, berhak untuk dihukum.”
Pertanyaannya, apakah ada satu saja bunyi sila yang tidak cocok dengan syariat? Tidak ada. Dalam buku Muqarrarâti Nahdlatil-Ulamâ’ Jawa Syarqiyyah hlm. 544 dijelaskan:
“Para ulama sepakat untuk mendirikan negara Pancasila, karena sesungguhnya nila-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila merupakan pengejawatahan dari berbagai nilai keislaman (Ahlussunah wal Jamaah).”
Nahdlatul Ulama (NU) sudah sejak lama menerima Pancasila sebagai dasar negara. Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo pada tanggal 18 – 21 Desember 1983 M, NU memperjelas bagaimana hubungan antara Pancasila dan Agama Islam. Di secarik kertas tertulis deklarasi NU yang berjudul, “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam.”
Poin-poin deklarasi sebagai berikut:
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
- Sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar-manusia.
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
- Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Di poin keempat, kita bisa memahami bahwa selaku umat Islam, bentuk penerimaan dan pengamalan pada Pancasila tidak lain, sebagaimana penjelasan di atas, adalah ketaatan kita pada agama Islam.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id