Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah tulisan dalam salah satu portal yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan tidak memiliki landasan syarak. Berikut kutipannya,
“…Kalaupun dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara yasinan yang mereka klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.
Baca Juga: Telaah Kritis Terhadap Anti Tradisi Ala Wahabi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal darinya, maka perkara itu tertolak.”
Jawaban
Tulisan di atas hanyalah opini penulis belaka. Ia sangat tak cakap dalam berhujah. Hanya dengan satu dalil ia berusaha untuk meruntuhkan dan membidahkan tradisi tahlilan yang sudang menjadi tradisi di kalangan NU.
Selain itu, penulis sebenarnya tidak paham dengan hadis yang ia tampilkan. Sebab, hadis itu memiliki makna tersirat seperti yang dijelaskan Syaikh Ahmad bin Ali bin Hajar abu al-Fadl al-‘Asqalani dalam kitabnya, Fathul-Bari berikut ini,
والمحدثات بِفَتْحِ الدَّالِّ جَمْعُ مُحْدَثَةٍ وَالْمُرَادُ بِهَا مَا أُحْدِثَ وَلَيْسَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ وَيُسَمَّى فِي عُرْفِ الشَّرْعِ بِدْعَةً وَمَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ الشَّرْعُ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ فَالْبِدْعَةُ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ مَذْمُومَةٌ بِخِلَافِ اللُّغَةِ فَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ يُسَمَّى بِدْعَةً سَوَاءٌ كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا وَكَذَا الْقَوْلُ فِي الْمُحْدَثَةِ وَفِي الْأَمْرِ الْمُحْدَثِ الَّذِي وَرَدَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Lafal ‘Muhdatsat’ dengan dibaca fathah ‘dal’-nya merupakan jamak dari lafal ‘Muhdatsah’ yang berarti sesuatu yang baru serta tidak memiliki landasan dalam syarak. Dalam kacamata uruf syarak, hal itu dinamakan dengan bidah. Sedangkan sesuatu yang memiliki landasan syarak bukanlah bidah. Adapun bidah secara uruf syarak adalah tercela. Sedangkan secara bahasa, setiap sesuatu yang baru dengan tanpa adanya contoh pada sebelumnya maka hal itu dinamakan bidah, baik terpuji atau tercela. Inilah pengertian muhdatsah (sesuatu yang baru) yang dikehendaki dalam hadis yang diriwayatkan Sayidah Aisyah, ‘Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal darinya, maka perkara itu ditolak’.”
Dari ta’bir di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa bidah adalah satu hal baru yang tidak memiliki landasan dalam syarak. Adapun perkara baru, tetapi memiliki landasan syarak maka tidak dikategorikan bidah.
Ghazali | Annajahsidogiri.id