Khilafah Nusantara atau yang lebih femos dengan sebutan Kesultanan sudah ada sejak Nusantara dalam kepemimpinan Sriwijaya. Pada masa itu hegemoni Sriwijaya mulai memudar sampai akhirnya pada tahun 990 M terjadi penyerangan oleh Darmawangsa Raja Medang (Mataram kuno) dari Jawa. Kerajaan Islam pertama Nusantara adalah Kesultanan Perlak yang sekarang masuk Provinsi Aceh pada abad ke-10 M. Konon, rajanya datang dari Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah yang berhaluan Syiah. Mengaku sebagai keturunan ahlul bait.
Baca Juga: Bertawasul, Why Not?
Selang beberapa abad, seorang Bangsawan dari Pasai bernama Meurah Silo, anak dari Meurah Selungan keturunan keenam dari Makhdum Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat Raja Perlak yang memimpin pada tahun 365-402 H/ 976-1012 M mendirikan Kesultanan Samudra Pasai dan berkuasa antara tahun 659-688 H/1261-1289 M beliau merupakan benduduk asli pribumi Aceh.
Pada masa pemerintahannya, Negeri Pasai sangat makmur dan menjadi tujuan utama saudagar-saudagar dan pelancong dari berbagai bangsa, sampai-sampai beliau mendapat gelar Kesultanan Malik ash-Shalih. Salah satunya adalah Ibnu Bathuthah, pelancong asal Maroko yang singgah pada Negeri Pasai abad ke-14 M menyaksikan bahwa saat itu penduduk Pasai Mayoritas berpenduduk Islam.
Tengku Ibrahim Alfian dalam bukunya: Kontribusi Samudra Pasai terhadap Islam Awal Asia Tenggara mengatakan pada masa Sultan Malik ash-Shalih Pasai menjadi pengaruh Islamisasi wilayah-wiayah sekitar seperti Malaka dan lainnya. Pasai menjadi pusat perdagangan Internasional karena datangnya saudagar dari Gujarat, Arab dan Cina.
Kedua Kesultanan tersebut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Khilafah yang ada bagian Timur-Tengah yakni Khilafah Abbasyah (Bagdad) yang kekuasannya terbentang dari Khurasan Timur sampai Mesir bagian Barat. Tidak ada keterangan yang mengatakan bahwa kedua sistem pemerintahan tersebut menggunakan sistem Syariat Islam sebagaimana Khilafah. Juga, karena kurangnya penulisan mengenai sejarah kedua Kerajaan ini.
Menurut Dosen UIN Syarif Hidayatullah Oman Fathurrahman bahwa Kesultanan Aceh adalah Kesultanan yang sering berhubungan Diplomatik dengan Khilafah Turki Utsmani. Pada masa Sultan Abdul Hamid II, bahkan sampai meminta menjadikannya Negeri Vasal dari Turki Utsmani. Hanya saja, Turki Utsmani tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut sebab kesulitan menjangkau wilayah Aceh yang sangat jauh.
Memang dalam kitabnya Bustanul-Salatin Syekh Nuruddin ar-Raniri mengatakan bahwa Sultan Aladdin Riayat Syah al Qahhar, sultan Aceh ketiga mengirim surat pada Sultan Süleyman I, sultan Turki Utsmaniyah ke-10 yang berkuasa dari tahun 1520 hingga 1566, meminta bantuan untuk menghadapi serangan Portugis yang berambisi menguasai dunia bagian Timur.
Baca Juga: Menepis Paham Wahabi Tentang Zikir
Kesultanan Aceh meminta bantuan pasukan bukan berarti mereka menjadi negara bahawan Turki Utsmani karena hal ini sudah lumrah. Alasan lain meminta bantuan pada Kerajaan Aceh karena Turki Utsmani pada waktu itu satu-satunya Imperium Islam terkuat dunia yang bisa mereka harapkan untuk melindungi Kerajaan Islam yang sangat jauh sebagaimana Aceh.
Selain itu, jika kita kaitkan dengan kesultanan Demak Bintoro atau Pangeran Diponegoro. Faktanya, Pangeran Diponegoro mengambil Gelar Ali Basha yang terinspirasi dari Ali Pasha, Pasukan Turki agar bersemangat untuk melawan Hegemoni Hindia-Belanda. Hal itu terbantahkan oleh Sejarawan asal Inggris Peter Carey yang sudah meneliti Perang Jawa tepatnya tentang Diponegoro selama 40 tahun. Beliau menegaskan hubungan Turki Utsmani dengan Keraton Jogja bahwa tidak ada dokumen yang menunjukkan hubungan antar keduanya.
Baca Juga: Haruskah Kita Perjuangkan Syariat?
Dengan demikian, tidak ada Kerajaan Islam Nusantara yang secara langsung menjadi Kerajaan vasal Kekhilafaan Timur-Tengah baik pada masa Abbasiyah maupun Turki Usmani. Hal ini menolak pendapat yang mengatakan bahwa Kesultanan-kesultanan Nusantara adalah lanjutan dari Khilafah Timur-Tengah.
*Dikutip dari berbagai sumber
M Nuril Ashabi Lutfi|Annajahsidogiri.id