Syiah merupakan salah satu kelompok besar dalam Islam yang sudah jelas kebatilan dan kesesatannya. Di antara kebatilannya adalah keyakinan mereka tentang istri Nabi Muhammad yang mereka anggap sebagai orang yang keji dan hina. Terlebih, penghinaan mereka kepada Sayidah Aisyah dan Sayidah Hafsah. Menurut mereka, kedua istri Nabi itu telah membunuh Nabi dengan cara meracuni. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Baqir al-Majlisi, salah satu ulama Syiah, dalam kitab Hayâtul-Qulûb yang artinya:
“Aisyah dan Hafshah adalah dua orang yang telah membunuh Rasulullah dengan memberi racun kepadanya.”[1]
Tak cukup sampai situ, mereka bahkan mengkafirkan Sayidah Aisyah dan Hafsah, dan menyamakan keduanya dengan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth. Selain itu, Syiah juga menuduh Sayidah Aisyah sebagai pelacur. Mereka mengatakan demikian berdasarkan salah satu perkataan yang disandarkan kepada Sahabat Ibnu Abbas kepada Sayidah Aisyah:
“Engkau tak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Nabi.”[2]
Tuduhan-tuduhan Syiah pada Sayidah Aisyah sebenarnya tak lepas dari konflik yang terjadi antara Aisyah dan Ali, lebih-lebih saat perang Jamal. Sebagaimana maklum, Syiah sangat fanatik pada Ali, sehingga yang pemikirannya tak serumpun dengan Ali, akan mereka lahap dengan ganas.
Tanggapan
Dari pemaparan di atas, jelas sekali keyakinan mereka sangat bertentangan dengan keyakinan Ahlusunah. Pertama, Istri-istri Nabi adalah orang yang harus dimuliakan. Mereka diberi pilihan oleh Allah antara memilih Nabi atau senang dengan kehidupan dunia. Namun, semua istri beliau lebih memilih untuk bersama Nabi Muhammad. Pada akhirnya, mereka pun menjadi bagian dari Ahli Bait Nabi Muhammad.
Oleh karena itu, apabila ada yang menghina istri Nabi dan menuduhnya dengan perbuatan-perbuatan keji, tanpa ia sadari, ia telah menyalahi al-Quran dan hadis. Padahal, dalam al-Quran Allah telah menyatakan akan kesuciaannya. Maka, seperti kata para ulama, jika ada yang meragukan kesucian Sayidah Aisyah, berarti dia telah kafir, karena ia telah menentang al-Quran, sebagaimana dijelaskan dalam surah an-Nur ayat 11.
Kedua, mengenai konflik yang terjadi antara Sayidina Ali dan Sayidah Aisyah di saat peristiwa Jamal, itu hanyalah perbedaan pandangan dari masing-masing kubu. Lagipula, konflik yang terjadi saat perang Jamal itu sebenarnya tak seburuk anggapan Syiah.
Sayidah Aisyah pernah berkata:
“Apa yang terjadi antara aku dan Ali tidaklah lain hanyalah perbedaan antara mertua dan menantu.”[4]
Sedangkan, Sayidina Ali berkata:
“Wahai kaum muslimin! Dia (Aisyah) adalah orang yang jujur. Demi Allah, dia adalah orang yang baik dan merupakan istri Nabi kalian di dunia dan akhirat.”
Pada akhirnya, Sayidah Aisyah berdamai dengan Sayidina Ali. Lalu beliau memerintahkan umat Islam untuk membaiat Sayidina Ali.
Walhasil, dengan penjelasan di atas, kita ketahui bahwa tuduhan-tuduhan yang Syiah lemparkan pada Sayidah Aisyah sangatlah luput lagi fatal. Lebih-lebih, Aisyah sudah mendapat pengakuan khusus langsung dari Allah akan kesuciannya.
M. Hadziqil Fahimi | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Majlisi, Hayatul-Qulûb (2/700)
[2] Ath-Thusi, Ikhtiyâru Ma‘rifâtir-Rijâl (hlm. 57-60)
[3] Al-Arba‘în fî Imâmatil-A‘immah (hlm. 615)
[4] At-Thabari, Târîkhul-Umâm wal-Mulûk (5/225)