Sudah maklum bagi kita, bahwa akar ideologi Wahabi adalah Tauhid Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ wa as-Sifat. Tiga tauhid tersebut adalah konsep bidah, karena baru diusung pada abad ke-7 oleh Ibnu Taimiyah dan sebelumnya tak pernah diajarkan, baik oleh Rasulullah SAW, atau salafus shaleh. Bahkan Rasulullah SAW sendiri tak pernah mengenalkan tiga tauhid tersebut pada setiap orang yang hendak menyatakan dirinya masuk Islam. Bagi mereka cukup dengan melafalkan dua kalimat syahadat. Setelah itu darah dan harta mereka mendapatkan jaminan keamanan dari Islam.
Menurut Wahabi, Tauhid Uluhiyah adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Sementara Tauhid Rububiyah adalah meyakini Allah sebagai satu-satunya Dzat yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan mara bahaya. Adapun Tauhid Asma’ wa as-Sifat adalah menetapkan sifat yang telah ditetapkan Allah pada diri-Nya dan mentiadakan sifat yang telah ditiadakan-Nya dari diri-Nya.
Dalam doktrin Wahabi, tiga tauhid tersebut harus berjalan bersama-sama, sehingga seorang yang bertauhid Uluhiyah, namun meninggalkan Rububiyan, semisal masih bertawasul kepada yang sudah meninggal, atau mengacuhkan Asma’ wa as-Shifat, semisal mentakwil sifat yang telah ditetapkan Allah pada diri-Nya, maka ia tak layak disebut muslim.
Tiga tauhid tersebut juga memiliki arah dan tujuan yang jelas yang akan ditangkap oleh siapa saja yang konsen mengkaji pemikiran Wahabi; seperti ingin menyerang para peziarah kubur yang oleh mereka disebut ubbadu al-Maqabar (para penyembah kuburan), atau menganggap kalangan Asy’ari yang menakwil sifat-sifat Allah sebagai kelompok mu’atthilin dan munharifin, layaknya sekte Muktazilah.
Terkhusus dalam Tauhid Asma’ wa as-Shifat, Wahabi mengklaim sebagai pengikut salaf yang mentafwidh semua sifat-sifat Allah yang terindikasi memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya (mutasyabihat), seperti sifat al-Yad (tangan) dan a’yun (mata). Namun dalam kenyataannya, mereka bukan ahli tafwidh, karena mereka mengembalikan sifat-sifat tersebut pada arti hakikatnya atau lahirnya. Dalam artian, mereka juga ikut mentakwil sifat-sifat tersebut pada arti hakikat dan lahirnya. Dan, hal ini merupakan kesalahan besar mereka, sebab arti lahir dari sifat-sifat tersebut mengandung penyamaan Allah dengan makhluk-Nya, karena arti lahir al-yad, misalnya adalah tangan seperti tangan kita dan a’yun adalah mata seperti mata kita.
Oleh sebab itu, jika Wahabi benar-benar mau mengikuti salaf, mestinya mereka tidak mengembalikan sifat-sifat mutasyabihat pada arti lahirnya, karena menurut salaf, sifat-sifat tersebut yang dikehendaki bukan arti lahirnya, kemudian salaf memilih mengembalikan hakikat makna sifat-sifat tersebut kepada Allah. Demikinlah arti tafwidh yang dikehendaki salaf yang kemudian disalah-pahami Wahabi. Dan, Wahabi mesti tahu juga, bahwa tafwidh adalah pilihan mayoritas salaf, karena ada dari sebagian mereka yang lebih memilih mentakwilnya. Wallahu a’lam bi as-shawab.
Shonhaji Lc./Annajah.co