Kemunculan Khawarij
Kemunculan Khawarij tidak lepas dari sejarah gejolak politik antara al-Imam Ali bin Abi Thalib Ra dengan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan Ra pada perang Shiffin. Ketika itu, Mu’awiyah Ra menyerukan arbitrase (Tahkim) terhadap al-Quran saat pasukannya mulai melemah. Dari kubu sahabat Ali bin Abi Thalib Ra ada yang merespon baik hal itu. Bahkan, mendesak Sayidina Ali Ra untuk menerimanya.
Setelah Sayidina Ali Ra menyetujui arbitrase yang ditawarkan Sayidina Mu’awiyah Ra, dan dari masing-masing kubu mengirim jubirnya, mereka yang mendesak Sayidina Ali Ra lantas merubah sikapnya. Sayidina Ali Ra disalahkan dan dikecam karena ia menerima penawaran Mu’awiyah Ra. Yang dulunya mereka setia kepada Sayidina Ali Ra, akhirnya mereka meninggalkannya.
Ada sekitar 12.000 orang yang keluar dari barisan Sayidina Ali Ra. Mereka bertolak ke Haura’, suatu desa di daerah Kufah, Iraq. Pimpinan mereka bernama Syabib bin Rab’i at-Tamimi. Mendengar hal itu, Sayidina Ali Ra bergegas ke Haura’. Sesampainya di sana, sempat terjadi dialog ilmiah berkepanjangan antara Sayidina Ali Ra dengan mantan pasukannya itu. Mereka ini akhirnya disebut sebagai kelompok Haruriyah. Dari sekian sekte Khawarij, Haruriyah adalah kelompok yang paling bersikukuh dengan pendapatnya dan kelompok Khawarij terbesar.
Baca juga: Antara Liberal, Muktazilah dan Iblis
Dalam banyak kesempatan, antara Sayidina Ali Ra dan kelompok Khawarij sering terjadi peperangan. Hingga pada akhirnya Sayidina Ali Ra wafat di tangan salah seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam.
Doktrin Sekte Khawarij
Kelompok Khawarij dalam menyikapi sesuatu dikenal sangat jumud dan kaku. Mereka bahkan juga sangat fanatik dan bersikukuh terhadap pendapat mereka sendiri. Demikian ini karena kebanyakan followers Khawarij berasal dari kaum Arab atau kabilah yang berwatak keras dan kaku. Mereka tidak biasa menyicipi karakter Islam yang moderat dan sejuk. Sehingga fanatisme mereka justru menjadi penghalang menuju kebenaran.
Baca juga: Mereview Kembali Kesejatian Label ANNAJAH
Ada beberapa poin yang secara garis besar menjadi pedoman kaum Khawarij dari berbagai pecahannya. Dr. M. Said al-Buthi menyebutkan lima poin besar:
- Khalifah/Pemimpin dipilih dengan sah secara umum oleh segenap kaum muslim, bukan oleh segelintir orang di antara mereka. Dan apabila seorang pemimpin meyimpang dari kebenaran syariat, maka kewajibannya ia harus dikudeta atau bila tidak, ia wajib dibunuh.
- Pemimpin umat Islam tidak terbatas bagi suku-suku tertentu. Semua suku dan bangsa dari ras manapun boleh menjadi Khalifah, Arab ataupun non-Arab. Oleh sebab itu, kaum Khawarij mengangkat Abdullah bin Wahb ar-Rasibi sebagai Amir, yang secara suku ia bukan dari kalangan Quraisy.
- Mengkafirkan orang Islam yang berbuat dosa atau maksiat. Baik dosa besar maupun dosa kecil. Sengaja atau tidak sengaja. Dari dasar ini, kaum Khawarij mengkafirkan Sayidina Ali Ra atas kebijakan tahkim-nya terhadap Mu’awiyah t yang dalam perspektif mereka keliru. Padahal yang mendesak Sayidina Ali Ra justru mereka sendiri.
- Boleh tidak mengangkat pemimpin di tengah umat islam sama sekali, bila hal ini disetujui oleh masyarakat muslim dan mereka tidak membutuhkan adanya pemimpin.
- Mereka dalam memahami nash sangat tekstual dan sama sekali mengabaikan peran akal dan nalar. Dalam hal ini ada kemiripan antara Khawarij dan Zhahiriy. Karena itu, Sayidina Ali Ra sering berdialog dengan mereka menggunakan argumentasi amaliah Rasul Saw, bukan dengan teks-teks al-Quran dan hadis.
*Disadur dari kitab al-Madzahib at-Tauhidiyyah karya Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi.
Fahim Abdoellah | Annajahsidogiri.id