Banyak masyarakat salah kaprah menyebut orang sebagai Wali Allah. Mereka berasumsi jika ada orang yang bisa menyembuhkan penyakit atau menebak isi hati, langsung dicap sebagai wali. Bahkan jika ada orang yang tampilannya beda dengan biasanya, bertingkah laku aneh, langsung divonis sebagai wali. Anehnya lagi, jika ada orang bodoh berbicara tentang agama bertujuan supaya masyarakat menilainya sebagai wali. Padahal orang yang mendapat gelar Wali Allah bukanlah orang sembarangan.
Maka dari itu, seyogianya masyarakat lebih selektif lagi menyebut seseorang sebagai “WALI ALLlah”. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa yang disebut waliyullah adalah orang-orang yang selalu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman tentang para wali Allah dalam al-Qur’an al-Karim:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُون
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (62) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (63).” (QS. Yunus [10]: 62-63)
Sebab ayat ini al-Imam Abul-Qasim al-Qusyairi, ulama sufi terkemuka, menguraikan definisi Waliyullah dalam tafsirnya, berikut ini penjelasannya:
Firman Allah: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah mereka tidak merasa takut dan tidak pula berduka cita”. Wali adalah orang yang selalu taat kepada Allah tanpa diselingi dengan perbuatan maksiat. Boleh juga yang dimaksud wali adalah orang yang selalu memperoleh kebaikan Allah dan anugerah-Nya. Demikian juga wali berarti orang yang dilindungi seluruh waktunya dari berbagai ujian. Dan ujian yang terberat adalah melakukan maksiat. Allah senantiasa melindunginya dari ketergelinciran. Apabiala nabi itu harus ma’sum, maka wali itu harus mahfuz.
Kemudian al-Qusyairi menjelaskan bahwa perbedaan ma’sum dan mahfuz. Ma’sum adalah orang yang tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk melakukan dosa. Sedangkan mahfuz kadangkala melakukan kesalahan-kesalahan kecil, dan terkadang dia tergelincir, tetapi tidak terus-menerus.
Dalam Kaca mata tasawuf, Al-Imam al-Ghazali, ulama sufi yang terkenal dengan kitab ihya’ ulumidiin-nya, memberikan perbedan seorang wali dan orang awam. Ibaratnya, jika ada pengemis meminta-minta kepada rakyat jelata dan kepada pejabat, kemudian keduanya sama-sama memberikan sepotong roti, dengan kualitas yang rendah. Bagi si rakyat jelata, itu adalah perbuatan yang sangat mulia. Namun tidak pantas diberikan oleh seorang pejabat. Karena derajatnya berbeda dalam kehidupan sosial.
Baca Juga: Tasawuf Murni Ajaran Islam?
Begitu juga seorang Waliyullah, sebab kedudukannya yang tinggi di sisi Allah, maka apa yang dilakukan oleh orang awam, menjadi tidak layak dilakukan oleh Wali Allah. Sebab ini, kita bisa paham bahwa Waliyullah bukanlah orang sembarangan. Masyarakat harus lebih jeli dalam menilai seseorang sebagai wali. Karena hakikatnya Wali Allah adalah orang beriman dan selalu bertakwa kepada Allah, bukanlah orang-orang yang malah mengajak berbuat maksiat sebab tingkah laku anehnya.
Penulis: Bagus Zuhdi | Aktivis ACS Semester IV