Salah satu dari dimensi Trilogi Ahlusunah Wal Jamaah adalah ilmu tasawuf. Satu pokok ilmu yang bertugas fokus membersihkan hati (Tazkiyatun-Nafsi). Di dalam dimensi inilah kemudian kita mengenal berbagai istilah baru, macam para sufi, tarekat, khalwat, tajali, suluk, dll. Selain itu, teruntuk di dalam dimensi yang satu ini, tasawuf juga hadir dengan amaliah-amaliah khusus dengan gaya dan model yang berbeda pada umumnya. Kita ambil contoh seperti berzikir mengagungkan Allah. Kita sepakat bersama bahwa salah satu keharusan seorang hamba yang mendapatkan siraman nikmat dari Sang Pencipta adalah dengan cara memuji bersyukur kepada-Nya.
Baca Juga: Menepis Paham Wahabi Tentang Zikir
Nah, sebab itulah, salah satu dari sekian cara bersyukur kita kepada Allah adalah dengan cara berzikir memuji Allah, baik pujian syukur itu menggunakan lisan maupun dengan hati (Hasyiyah ad-Dasuqi ‘Ala Ummil-Barahin. Hal 28)
Menurut Syekh Abu Bakar al-Kalabadzi, hakikat dari berzikir itu sendiri adalah lupa pada selain Allah. Maksudnya, ketika seorang hamba itu tengah berzikir maka yang terjadi adalah ia sedang memobilisasi pikiran dan hatinya untuk selalu ingat, ingat dan ingat kepada Allah. Sehingga apapun selain Allah samasekali tak terbesit di dalam pikiran dan hatinya (al-Inshâf Fîma Utsîra Haulahu al-Khilâf. II/635).
Untuk memperkuat argumentasinya inilah, Syekh Abu Bakar al-Kalabadzi menyitir sepenggal ayat; “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa” (QS. Al-Kahfi [24]).
Terkait soal zikir, sudah barang tentu, bahwa orang-orang yang kadung terbenam jauh di dasar samudera ilmu tasawuf itu pasti mempunyai gaya, model atau bahkan bacaan yang boleh dikata ‘nyeleneh’ bagi kalangan yang alergi ilmu tasawuf.
Seperti dalam kasus “Zikir Isim Mufrad” atau yang lebih akrab di telinga “Zikir Allah atau Hu”. Dalam menyikapi kasus penuh kontroversi ini, banyak pentolan ulama terkemuka yang beradu pendapat terkait boleh dan haramnya berzikir ala kubu sufisme ini. Singkatnya, ada dua kubu ulama yang bersitegang dalam menyampaikan pendapatnya masing-masing. Hanya saja belakangan ini, kasus zikir yang notabenenya bersifat khilaf ini kembali merebak dan digoreng panas oleh kelompok Salafi Wahabi yang berani mengatakan bahwa zikir tersebut bidah, sesat dan bisa membikin pelakunya menjadi kafir. Na’udzubillah.
Saat mengomentari kitab ath-Thoriqoh an-Naqsabandiyah adikarya Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam berkata; “Zikir dengan menggunakan isim mufrad (Allah atau Hu) hukumnya bidah. Tidak ada satupun keterangan boleh yang bisa dinukil dari ulama salaf (ath-Thariqah an-Naqsabandiyah. I/87).
Pendapat yang dikemukakan oleh Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam ini kemudian mendapat frekuensi baik dari Syekh Abu Abdi al-Muhsin. Di dalam kitabnya, Mausuatur-Roddi ‘Alâs-Sûfiyah, beliau menegaskan; “Bahwa mayoritas cendekiawan muslim mengatakan, seseorang yang hendak berzikir kepada Allah itu harus menggunakan lafal-lafal yang bersifat jumlah, karena hal tersebut dapat memahamkan. Sebaliknya, ia tidak boleh berzikir menggunakan isim mufrad, baik berupa isim zahir maupun isim dhomir (Allah atau Hu), karena isim mufrad itu bukanlah kalam yang sempurna juga bukan jumlah yang memahamkan” (Mausuatur-Roddi ‘Alâs-Sûfiyah. 7/41)
Lagi-lagi pendapat demikian ini mendapat signal baik dari ulama lain, macam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berfatwa; “Berzikir menggunakan isim mufrad, baik berupa isim zahir maupun isim dhomir (Allah atau Hu), merupakan perkara bidah dalam syara’, keliru dalam ucapan dan salah dalam tatanan bahasa, sebab isim mufrad itu bukanlah kalam, bukan pula bentuk keimanan juga bukan suatu kekafiran” (Majmu’ al-Fatawa, 10/396).
Namun, bagaimana sebenarnya Ahlusunah Wal Jamaah memandang kasus pelik ini? Benarkah pendapat Imam Ibnu Taimiyah, ‘Izzuddin bin Abdissalam dan Syekh Abu Abdi al-Muhsin yang mengatakan bahwa zikir ‘Allah atau Hu’ itu bidah, tidak boleh diamalkan dan tidak ada keterangan sahih yang dikutip dari ulama salaf?
Tentu saja, pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah cs tersebut adalah pendapat yang ngawur. Merekalah yang sejatinya membabibuta tidak mendasar. Tersebab, menurut Dr. Umar Abdillah al-Kamil –seorang intelektual muslim yang fokus membantah-habis pernyataan Salafi-Wahabi berkata “Pendapat yang mengatakan zikir tersebut bidah adalah pendapat yang salah. Karena Allah I ketika memerintah hambanya untuk berzikir, Dia tidak mengkhususkannya dengan perkara yang khusus” (al-Inshâf Fîma Utsîra Haulahu al-Khilâf. II/645)
Hal ini bisa diteguhkan dengan pernyataanya saat menyitir pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Atsqalni tatkala menjelaskan apa itu zikir. Hemat beliau, “tidak ada perkara khusus di dalam zikir. Apapun perkaranya, jika dapat membikin seorang hamba ingat kepada Tuhannya, itulah yang dinamakan zikir” (Fathul-Bârî. 13/23)
Masih dalam pembahasan ini pula, Maulana Syekh Muhammad bin ash-Shiddiq al-Ghumari menyerang balik pernyataan Ibnu Taimiyah lengkap dengan hadis sahihnya. Setidaknya, ada beberapa point yang disajikan oleh beliau dalam menanggapi fatwa Ibnu Taimiyah ihwal zikir “Allah atau Hu” ini.
Pertama, ada hadis sahih yang menjelaskan bolehnya berzikir memakai isim mufrad. Pemahaman hadisnya diperkuat oleh beberapa ulama ternama yang mengetok palu akan jaiznya berzikir memakai isim mufrad tersebut. Adapun ulama tersebut meliputi Sayid Abdul Qadir al-Fasi, Imam asy-Sya’rani dan Ibnu Abdissalam Bannani. Nabi bersabda; “Hari kiamat tidak akan terjadi sampai tak ada satupun orang yang di muka bumi yang berkata Allah Allah” (HR. Muslim 148).
Kedua, Allah I tidak memutlakkan zikir harus berupa jumlah. Bukti bahwa boleh berzikir menggunakan isim mufrad adalah firman Allah yang memerintah hambaNya agar juga berzikir menggunakan Asmaul-Husna. (QS. al-‘A’raf [180]). Ketiga, lafal “الله” itu sendiri jika ditilik dari ilmu nahwunya adalah jumlah muqaddarah (jumlah yang dikira-kirakan) sebab asal lafal “الله” adalah bisa “يَا الله”, “الله اعظم”, “الله اكبر” dll. Keempat, ada hadis yang menyatakan, jika seorang hamba menyebut lafal “الله” maka seluruh orang yang mendengar ucapannya akan menjadi saksinya kelak. Kelima, amaliah zikir “Allah atau Hu” ini telah banyak diamalkan oleh para sufi. Mereka adalah orang yang terpercaya (ash-Shiddiqun). Para ulama berkata, jika terdapat silang pendapat di kalangan para ulama, maka pilihlah pendapat ulama ash-Shiddiqun. Sebab mereka semua adalah orang yang dekat kepada Allah.
Nah, lima point ini sudah cukup sebagai dalil atas bolehnya berzikir menggunakan isim mufrad. Wallahu ‘a’lam.
Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id
Comments 0