Sampai saat ini, sebagian masyarakat akar rumput Aswaja masih saja salah kaprah dalam memahami hakikat zuhud dalam disiplin ilmu tasawuf. Mereka berpandangan bahwa zuhud adalah suatu sikap di mana seseorang yang bersifat zuhud ini tidak memiliki uang sama sekali, tidak memiliki harta benda dan berpenampilan alakadarnya dengan sandang, pangan dan papan setara dengan orang miskin. Dari pandangan inilah, mereka kemudian gagal paham dalam mengambil kesimpulan. Menurut mereka, setiap orang yang memiliki barang-barang mewah, tampak glamor dipandang mata, dan berpenampilan necis dengan merek-merek ternama, sekali pun itu adalah seorang ulama terkemuka, maka orang itu tidak zuhud.
Baca Juga: Tasawuf yang Benar Versi Ahlusunah Waljamaah
Sekarang, benarkah sebenarnya anggapan mereka? Apakah memang demikian hakikat zuhud yang sesungguhnya? Harus enggan kepada harta benda? Imam al-Junaid al-Bagdadi mengatakan; “Yang dimaksud dengan zuhud ialah menganggap segenap harta benda dunia sebagai perkara remeh dan sama sekali tiada membekas di dalam lubuk hati manusia” (ar-Risâlah al-Qusyairiyah I/56).
Definisi ini kemudian diamini oleh Imam Ibrahim bin Adham yang disitir oleh Syeikh Ibrahim bin Mar’a asy-Syabarkhaiti bahwa zuhud itu adalah kosongnya hati dari keinginan harta dunia, bukan kosongnya tangan dan saku dari gemerlap harta dan seperangkatnya. Dengan artian, seorang Muslim yang kebetulan memiliki aset harta yang meruah di dalam kehidupannya, kekayaannya tersebut hanya sampai pada tangan dan saku-sahamnya saja, tidak sampai melekat mengotori ulu hatinya (al-Futûhât al-Wahbiyah).
Maka, untuk memudahkan umat dalam memahami esensi zuhud ini, Imam Abdul Qadir Isa kemudian memberikan rumusan sederhana untuk mengindetifikasi hakikat zuhud itu sendiri. “Zuhud itu tentang hati” tutur beliau “selama hati seseorang bersih dari syahwat dan cinta dunia, maka orang tersebut layak disebut sebagai zahid”.
Kesimpulannya, tolok ukur dari zuhud itu terletak pada hati. Maka pertama, sekaya apapun seseorang, jika kekayaannya tidak sampai bersemayam di dalam hati, orang itu tetap dikatakan zahid. Sehingga kedua, semiskin apapun seseorang, jika di dalam hatinya masih terdapat keinginan menghimpun harta, sekecil apapun keinginan itu, maka ia belum termasuk seorang zahid.
Sebagai bukti konkret, kita bisa menyaksikan bagaimana napak tilas kehidupan salafus-saleh yang mengisi lembaran hidupnya dengan tetap bersikap zuhud pada setiap bentuk harta benda yang dimilikinya. Lihatlah bagaimana garis kehidupan Amirul-Mukminin Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab juga Sayidina Utsman bin Affan. Ketiga-tiganya bergelimang harta dengan aset beraneka yang terletak di mana-mana. Tetapi bagaimana hidupnya? Bersahaja lagi sederhana. Mereka sama sekali tidak enggan kepada kekayaan pribadinya. Mereka tidak serta merta menolak limpahan rezeki yang Allah I berikan. Tetapi apa yang mereka lakukan? Menjadikan kekayaannya sebagai wasilah yang menjembatani kehidupan dunianya menuju keberkahan hidup di akhiratnya. Sebab, zuhud sendiri adalah wasilah untuk wusul (sampai) kepada Allah I. Dan harta benda merupakan salah satu cara untuk sampai kepada Allah I. (Haqȃiq ‘an at-Tasawwuf I/281).
Walhasil, melalui uraian ini, anggapan masyarakat dalam kasus di atas merupakan anggapan yang salah dan tidak mendasar. Akhiran, mudah-mudahan kita semua bisa meneladani jejak rekam kehidupan salafus-saleh yang tetap bersikap zuhud meski bergelimang kekayaan. Wallahu A’lam.
Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id
Comments 0