Mati akan menghinggapi setiap mereka yang bernyawa, termasuk manusia. Pada hakikatnya, semua manusia sedang menunggu satu waktu yang–mau tidak mau–pasti akan menghampiri, yaitu mati. Oleh sebab itu, selagi nyawa masih dikandung badan, seseorang harus memperbanyak mengais bekal di dunia untuk menghadapi perjalanan panjang di alam selanjutnya, yaitu alam akhirat yang tidak ada ujungnya.
Di antara bekal yang paling penting bagi seorang muslim adalah salat. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa salat merupakan ibadah pokok bagi setiap muslim. Jika salat ditegakkan, itu berarti tiang agama sedang kokoh berdiri. Sebalikanya, jika salat diabaikan, maka saat itulah bangunan agamanya telah roboh berantakan.
Satu-satunya ibadah yang tidak akan gugur bagi setiap muslim yang mukalaf adalah salat. Meski ia sedang sakit parah sekalipun, selagi ia masih memiliki akal yang sadar, maka ia tetap wajib melaksanakan salat. Tidak seperti ibadah lainnya. Puasa misalnya. Bagi yang tidak mampu boleh meninggalkan puasa dan diganti jika sudah mampu. Tetapi untuk salat, tidak ada dispensasi semacam ini. Jika tidak mampu berdiri, maka salat duduk. Jika tidak mampu duduk, maka salat tidur miring, lalu terlentang. Jika tidak mampu menggerakkan semua anggota tubuh, cukup dengan isyarat kedipan mata. Jika tidak mampu mengedipkan mata, cukup dengan isyarat dalam hati.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan, banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang tidak menghiraukan salat ketika ia dalam keadaan sakit. Ia beranggapan bahwa ia tidak wajib salat sebab ia diserang penyakit parah, setruk misalnya. Banyak dari mereka yang akhirnya meninggalkan dunia dalam keadaan meninggalkan salat selama berhari-hari. Sebab mereka tidak tahu bahwa bagi orang sakit pun tetap wajib untuk menegakkan salat.
Hal semacam ini kadang menyebabkan kerisauan bagi keluarga yang meninggal. Apa yang akan dilakukan malaikat di alam barzakh pada mayat yang meninggalkan salat dengan alasan sakit? Dari ahli waris kadang bermaksud untuk meng-qadha’i (mengganti) salat yang ditinggalkan mayat selama sakit. Barangkali dapat meringankan siksa bagi dia yang sedang berada di alam kubur.
Menurut mayoritas ulama, salat termasuk ibadah badaniyah, sehingga tidak boleh digantikan oleh orang lain. Bedahalnya dengan ibadah yang lain. Membayar zakat misalnya, maka boleh digantikan atau diwakilkan oleh orang lain. Sebab itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat yang telah ditinggalkan oleh seseorang yang sudah meninggal, tidak wajib untuk di-qadha’i. Bahkan ada beberapa ulama yang mengatakan makruh hukumnya meng-qadha’i salat orang telah meninggal. Akan tetapi, ada juga ulama yang mengatakan boleh, seperti Imam as-Subki.
Ulama yang lain memberikan solusi dalam masalah ini. Ada sebuah pendapat–dan pendapat ini mendapat dukungan dari banyak ulama–bahwa boleh hukumnya mengganti satu salat yang ditinggakan dengan satu mud (675 gram) makanan. Hal ini apabila si mayat meninggalkan harta (tirkah). Tetapi hal ini hanyalah sebuah solusi, bukan sebuah kewajiban.
Maka baik bagi kita untuk meng-qadha’i salat yang ditinggalkan semasa hidupnya oleh orang terdekat kita. Dengan harapan semoga dapat meringankan siksa yang didapat sebab meninggalkan salat. Wallaahu a’lam.
Referensi: Ianah at-Talibin 1/24.
Baqir Madani|Annajahsidogiri.id