Berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi lain, Al-Qur’an merupakan kitab paling sempurna yang Allah ﷻ turunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai mukjizat baginya. Di antara keistimeaan Al-Qur’an ialah i’jaz: membuat orang lain tidak mampu untuk menandinginya. Sehingga, tidak ada seorang pun sejak turunnya Al-Qur’an sampai sekarang dan seterusnya yang bisa menandingi susunan dan kandungannya.
Dalam Al-Qur’an terdapat kisah-kisah orang dahulu yang bisa ditiru oleh kaum setelahnya, seperti kisah para nabi dan orang-orang saleh, dan kisah-kisah yang bisa dijadikan pelajaran agar tidak dilakukan oleh orang setelahnya, seperti kisah tentang azab orang-orang kafir, fasik dan semacamnya. Namun, ada salah satu tokoh liberal yang memberikan pernyataan bahwa tujuan dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an ialah untuk memberikan pelajaran terhadap kaum setelahnya agar tidak ditiru, karena itu, ia menyatakan tidak masalah apakah cerita itu palsu atau tidak, karena memang tujuannya hanya untuk dijadikan ibrah (pelajaran), bukan untuk memastikan kebenaran cerita tersebut. Lantas, benarkah cerita dalam Al-Qur’an ada yang palsu?
Sekilas tidak ada masalah dari pernyataan liberalis ini, karena memang benar apa yang ia katakan; bahwa tujuan kisah dalam Al-Qur’an supaya bisa dijadikan pelajaran oleh kaum setelahnya, seperti kisah Fira’un yang karena kemaksiatannya kepada Allah akhirnya dia ditenggelamkan bersama seluruh pasukannya, raja Namrud, Qorun, dan masih banyak kisah-kisah yang dimuat dalam Al-Quran untuk dijadikan pelajaran bagi kaum setelahnya. Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam surah Hûd berikut:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman”. (QS. Hud [11]:120)
Namun, kesalahan yang sangat fatal dan membahayakan terletak pada pernyataan “Bisa saja dalam Al-Qur’an terdapat kisah yang bohong”. Sebab, pernyataan ini secara tidak langsung memberi pemahaman bahwa terdapat kebohongan dalam kalamullah (Al-Qur’an). Ini sangat tidak mungkin alias mustahil, sebab Allah sendiri menjelaskan tentang kebenaran Al-Qur’an dalam surah Yunus ayat 37:
وَمَا كَانَ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانُ أَن يُفْتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Tidaklah mungkin Al Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam”.(QS. Yunus [11]:37)
Bahkan, Allah telah menjamin bahwa semua cerita yang termaktub dalam Al-Qur’an merupakan cerita nyata, bukan kisah yang dibuat-buat. Sebagaimana firman Allah berikut:
لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.(QS. Yusuf [12]:111)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kisah para Nabi yang berada di dalam Al-Qur’an merupakan kisah inspiratif bagi kaum setelahnya dan cerita tersebut tidak dibuat-buat alias benar adanya.
Lebih jelas lagi, Allah ﷻ berfirman dalam Al-Quran-Nya surat Al-Imran ayat 62:
اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡقَصَصُ الۡحَـقُّ ۚ وَمَا مِنۡ اِلٰهٍ اِلَّا اللّٰهُؕ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهُوَ الۡعَزِيۡزُ الۡحَكِيۡمُ
“Sungguh, ini adalah kisah yang benar. Tidak ada tuhan selain Allah, dan sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”. (QS. Āli Imrân [3]:62)
Turunnya ayat ini untuk menegaskan dan memastikan kebenaran kisah tentang Nabi Isa bahwa beliau bukan anak Allah, beliau tidak disalib tapi diangkat oleh Allah ke langit.
Dalam surat Al-Kahfi Allah ﷻ berfirman:
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِٱلْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا۟ بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَٰهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”. (QS. Al-Kahfi [18]:13)
Ayat ini turun untuk memberitahu Nabi Muhammad ﷺ tentang kebenaran cerita ashabul kahfi, tujuh anak muda yang beriman kepada Allah ﷻ. Mereka bernama Maxalmena, Martinus, Kastunus, Bairunus, Danimus, Yathbunus, dan Thamlika, hal ini sesuai pemaparan Imam Ahmad As-Shawi[1]. Beliau juga menjelaskan bahwa mereka hidup di tengah tengah kaum penyembah berhala dan penguasa zalim bernama Raja Diqyanius sebelum di utusnya Nabi Isa[2].
Adapun bukti nyata tentang kebenaran cerita dalam Al-Qur’an adalah kisah kaum ‘Âd yaitu kaum Nabi Hûd, konon mereka adalah orang-orang yang dibinasakan oleh Allah dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. Cerita ini tertera dalam surat Al-Hâqqah ayat 6. mereka merupakan orang-orang hebat hingga mereka membangun sebuah kota bernama Iram (dzatul ‘imad) yaitu kota seribu pilar, sesuai ayat Al-Fajr ayat 7. tempat itu kemudian ditemukan sekitar tahun 1998 Masehi di daerah Syasher di padang pasir Zhafar. jarak penemuan itu sekitar 150 Km sebelah utara kota Shoalalah dan 80 Km dari kota Tsamrit.
Bukti kedua adalah kisah kaum Tsamud: kaum Nabi Saleh, mereka adalah orang orang yang diazab oleh Allah dengan cara dibinasakan menggunakan suara yang sangat keras, sesuai dalam surat Al-Hâqqah ayat 5. Konon, mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian dalam mengukir gunung sehingga mereka bisa membangun gunung menjadi rumah yang dihuni oleh mereka, peninggalan kokoh dan memukau yang di buat oleh mereka saat ini diabadikan oleh pemerintah Arab Saudi.
Beberapa ayat dan bukti nyata di atas sudah cukup memastikan bahwa kisah yang ada dalam Al-Qur’an itu benar adanya alias bukan rekayasa.
Sebenarnya, pernyataan Liberalis tentang kepalsuan kisah yang termaktub dalam Al-Qur’an disebabkan cerita tersebut tidak bisa di nalar oleh akal manusia, sesuai konsep mereka dalam menyikapi kebenaran, bahwa akal dan rasio lah yang menjadi tolak ukur kebenaran sesuatu, sehingga apapun yang tidak bisa diterima akal tentu hal tersebut mereka anggap fatamorgana belaka. Oleh karena itu, tidak heran jika kisah-kisah tersebut mereka klaim sebagai dongeng atau khayalan semata.
Dari beberapa pemaparan di atas sangat jelas bahwa pernyataan liberalis bahwa kisah dalam Al-Qur’an itu bisa saja palsu, jelas tidak benar dan tidak berdalil. Sebab, beberapa bukti di atas, telah menunjukkan kebenaran kisah dalam Al-Qur’an. Wallâhu a’lamu bis shawâb
Moh. Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] Hasyiyah as-shawi ‘ala tafsir al-jalalain, juz 3, hlm 12
[2] Hasyiyah as-shawi ‘ala tafsir al-jalalain, juz 3, hlm 8-9