Akhir-akhir ini masih banyak saja Fitnah yang menimpa umat Islam seperti pengingkaran nasab habaib, kasus az-Zaitun dan moderasi beragama. Hal ini terjadi karena kurangnya keilmuan yang mereka dapat dengan mata rantai yang tidak jelas. Yang pasti ini merupakan propaganda musuh Islam untuk menghancurkan dan membelah umat Islam dari dalam.
Pertama-tama, kita harus tahu bahwa fitnah seperti ini tidak bisa lepas dari sunnatullâh yang menimpa umat Nabi Muhammad, sebagaimana firman Allah:
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-‘Ankabût [29]: 2-3)
Dalam kitab at-Tafsîr al-Munîr, Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa Allah menguji umat Islam dengan menimpakan fitnah pada mereka untuk membedakan mana yang munafik dan tidak.[1] Sejarah telah membuktikan bahwa pada masa kepemimpinan Sayidina Ali, dan para sahabat masih ada, sudah muncul fitnah-fitnah besar. Di antaranya, kemunculan dua aliran menyimpang yang menyebarkan beberapa fitnah pada umat seperti Khawarij dan Rawafid (Syiah). Demikian ini terjadi karena perang saudara antara Muslim. Para sahabat sangat menyayangkan hal ini terjadi. Mereka tidak tinggal diam dalam menyikapi kedua aliran tersebut, seperti yang dilakukan oleh Sayidina Abdullah bin Abbas. Beliau mengajak mereka berdebat berkali-kali, membuka taklim dan mengajak Muslim awam untuk mempelajari kembali ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Hal itu agar mereka tidak terpengaruh oleh akidah-akidah menyimpang.
Baca Juga: Relasi Harmonis Ulama-Habaib
Maka, ketika terjadi fitnah, apalagi dalam ranah akidah, ada beberapa kewajiban yang harus kita tunaikan. Di antaranya, kita tidak boleh diam; dalam artian kita harus meluruskan mereka yang sesat. Namun, jika mereka tetap saja berpegang teguh dengan keyakinan sesatnya, maka kita harus membentengi masyarakat awam agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Abdullah bin Abbas di atas.
Jika kita bukan orang yang mumpuni dalam menanggapi fitnah tersebut, baik dengan cara meluruskannya atau membuka taklim dan mengajak Muslim awam untuk mempelajari kembali ajaran Nabi, maka, pertama, kita harus bersikap sebagaimana pendapat mayoritas, karena umat Nabi Muhammad tidak akan bersepakat dalam kesesatan sebagaimana hadis Nabi riwayat dari sahabat Anas bin Malik. Beliau berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian menjumpai perselisihan, maka ikutilah golongan yang paling banyak (mayoritas). (HR. Ibnu Majah: 3950)
Kedua, tidak usah ikut campur, bagi mereka yang tidak terlalu paham mengenai fitnah yang dibincangkan. Sebab, jika mereka ikut campur, khawatirnya mereka ikut terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Sikap “tidak ikut campur” ini telah dicontohkan oleh ulama-ulama Ahlusunah. Mereka lebih memilih diam; tidak mengomentari fitnah yang terjadi antara kelompok Sayidina Ali dan Sayidina Muawiyyah.
Kesimpulannya, umat Islam akan selalu tertimpa fitnah, karena itu sudah menjadi sunnatullâh. Akan tetapi, kita harus menyikapinya dengan hati-hati agar tidak tersesat. Cara paling mudah dalam menyikapinya adalah lihat bagaimana sikap para ulama Ahlusunah dalam menyikapinya. Wallâhu a‘lam bish-shawâb.
Abiagbar | Annajahsidogiri.id
[1] At-Tafsîr al-Munîr, juz: 20 Halm: 185